Kamis, 01 September 2011

Shalat Tarawih 11 Rakaat, Haram?

Shalat Tarawih 11 Rakaat, Haram?

Assalamu'alaikum wr. wb.
Pak ustadz yang dirahmati Alloh dan semoga selalu dalam lindungan Alloh.
Untuk kesekian kalinya pertanyaan ini ditanyakan dalam forum ini. Ceritanya saya shalat tarawih hari ke-3 di masjid yang shalat tarawihnya 21 rakaat. Sebelum witir imam berdiri dan memberikan kultum, di dalam kultum tersebut dikatakan bahwa haram hukumnya shalat tarawih 11 rakaat, karena di zaman Rosululloh SAW sampai khulafa rasyidin shalat tarawihnya dua-dua dikatakan (matsna-matsna).
Adapun shalat tarawih 11 rakaat berasal dari Ibnu Taimiyah dan dikatakannya bahwa Ibnu Taimiyah itu rada stres di kalangan ulama katanya pak ustadz. Pada saat imam mengatakan haram hukumnya shalat tarawih 11 rakaat hati saya panas sekali ingin sekali saya bicara. Kenapa saya panas karena dari kecil saya shalat tarawih di kampung saya 11 rakaat tiba-tiba ada yang mengatakan demikian. Bagaimana menyikapi hal demikian? Saya mohon pak ustadz memberikan nash-nash atau hadits-hadits yang membuat saya paham mungkin karena saya yang awam tidak dapat menjangkau wilayah syariah atau fiqih. Sebelumnya saya ucapkan terim kasih.
Wassalamu'alailkum wr. wb.

jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Sebaiknya anda tidak perlu stres mendengar hal begituan. Sebab ciri khas ilmu fiqih adalah perbedaan pandangan. Siapa yang tidak bisa menerima perbedaan pandangan, maka tidak bisa menjadi ahli fiqih. Demikian juga dalam ilmu kritik hadits, berbeda pandangan dalam menilai derajat suatu hadits justru telah menjadi 'menu' sehari-hari.

Sikap tidak bisa menerima pandangan orang lain yang tidak sama dengan diri sendiri sebenarnya justru ciri khas orang awam. Di mana akses mereka terhadap ilmu-ilmu syariah tersumbat. Mungkin sejak kecil belajar fiqihnya satu versi saja. Kemudian 'dicekoki' bahwa hanya yang versi itu saja yang benar. Sedangkan yang tidak seperti itu, semua salah, haram, bid'ah dan kalau berbeda akan menjadi calon penghuni neraka. Nauzu billahi min zalik.
Padahal kalau kita mau telusuri ke puncak keilmuwan disiplin ilmu fiqih, justru para peletak dasar mazhab-madzhab fiqih sangat santun, sopan, serta saling menghormati satu sama lain. Gaya bicara model imam shalat di masjid anda, yang menuduh bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang stres tentu tidak pernah terlontar di kalangan para ulama betulan. Gaya berargumen seperti itu jelas bukan metode para ulama, melainkan gaya preman tukang pukul yang tidak tahu duduk masalah.
Dan sebenarnya perbedaan jumlah rakaat tarawih antara 11 dan 23 bukan terjadi hanya di masa Ibnu Taimiyah, melainkan sudah ada sejak awal masa risalah Islam. Lagi pula bukan pada tempatnya untuk diperselisihkan hingga sampai mencela dan mencaci orang yang pendapat fiqihnya berseberangan.
Titik Pangkal Perbedaan
Ada banyak penyebab mengapa umat Islam berbeda pendapat tentang jumlah rakaat tarawih, teapi yang pasti karena tidak adanya satu pun dalil yang shahih dan sharih yang menyebutkan shalat tarawih.
Seandainya ada satu hadits yang shahih (valid) dan sharih (eksplisit) yang menyebutkan jumlah bilangan rakaat tawarih langsung dari mulut Rasulullah SAW, pasti tidak akan ada perbedaan pendapat.Seperti sepakatnya para ulama dalam menetapkan bilangan rakaat shalat 5 waktu.
Sayangnya, semua dalil yang digunakan oleh para ulama tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih, nyaris semuanya menyimpan potensi multi tafsir dan bias. Kalau pun valid, tapi bisa ditafsirkan bukan dalil yang menunjukkan shalat tarawih. Kalau pun hadits itu bicara shalat tarawih secara eksplisit, tidak ada informasi jumlah bilangan rakaatnya.
Karena itu terjadi confuse di kalangan ulama untuk menetapkan bilangan rakaat tarawih. Tetapi wajar juga bila melahirkan perbedaan hasil akhir dalam menarik kesimpulan.
Sebagian ulama ada yang menyamakan dalil shalat tahajjud (witir) dengan dalil shalat tarawih. Hadits-hadits tentang shalat tahajjud (witir) memang menyebutkan bahwa beliau SAW tidak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat. Baik di dalam Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
Bagi mereka, tarawih itu hanya nama atau sebutan saja. Intinya adalah shalat malam, kalau di luar bulan Ramadhan disebut tahajjud. Sedangkan kalau di luar Ramadhan disebut dengan tarawih. Maka mereka mengatakan bahwa jumlah bilangan rakaat shalat tarawih adalah 11 rakaat.
Di sisi lain, ada lagi sebagian dari ulama yang mengatakan dalil shalat tahajjud (witir) berbeda dengan shalat tarawih. Buat mereka, tarawih adalah jenis shalat khusus di luar shalat tahajjud. Mereka menerima hadits-hadits tentang shalat malamnya Rasulullah saw yang tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Tetapi buat mereka, bukan dalil untuk shalat tarawih, melainkan shalat witir atau sering juga dikatakan dengan shalat tahajjud. Sehingga jumlah bilangan rakaat tawarih bukan 11 rakaat.
Untuk shalat tarawih secara khusus yang memang hanya ada di bulan Ramadhan, mereka menggunakan dalil dari apa yang dikerjakan oleh seluruh shahabat nabi SAW di masa Umar bin Khattab, yaitu shalat tarawih seusai shalat Isya' sebanyak 20 rakaat.
Saat itu Umar ra. melihat bahwa umat Islam shalat tarawih sendiri-sendiri, lalu beliau mengatakan bahwa alangkah baiknya bila mereka tidak shalat tarawih sendiri-sendiri, tapi di belakang satu imam yaitu Ubay bin Ka'ab. Dan riwayat yang mereka tetapkan adalah bahwa jumlah rakaat shalat tarawihnya para shahabat saat itu adalah 20 rakaat.
Sedangkan jumlah shalat tarawih yang dilakukan oleh nabi SAW yang hanya 2 malam saja, lalu setelah itu tidak dikerjaan lagi, ternyata semua riwayatnya tidak menyebutkan jumlah rakaatnya. Kalau pun ada, para hali hadits mengatakan bahwa semua hadits yang menyebutkan beliau shalawat tarawih (bukan shalat tahajjud/witir) 11 rakaat semuanya hadits palsu. Termasuk juga yang menyebutkan bahwa beliau shalat tarawih 20 rakaat.
Karena itu kita tidak bisa mengambil kesimpulan dari hadits tentan shalat tarawihnya beliau SAW, karena yang shahih tidak menyebutkan jumlah rakaat. Sedangkan yang menyebutkan jumlah rakaat ternyata hadits yang parah dan tidak bisa diterima.
Satu-satunya yang bisa dijadikan rujukan adalah jumlah rakaat para shahabat ketika shalat tarawih di zaman Umar bin Al-Khattab ra. Dan ternyata jumlahnya 20 rakaat. Logikanya, mana mungkin seluruh shahabat mengarang sendiri untuk shalat dengan 20 rakaat? Pastilah mereka melakukannya karena dahulu sempat shalat tarawih 20 rakaat bersama nabi SAW. Sayangnya, hadits tentang shalat tarawihnya nabi SAW dulu sama sekali tidak menyebutkan jumlah rakaat.
Namun ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa saat itu Ubay bin Kaab menjadi imam shalat tarawih untuk para shahabat bukan 20 rakaat, tapi 11 rakaat. Mana yang benar dari kedua riwayat itu, semua terpulang kepada ijtihad mereka dalam melakukan kritik hadits.
Sebab sangat dimungkinkan adanya satu hadits dengan beberapa penilaian oleh beberapa ulama yang berbeda. Yang satu bilang shahih, yang lain bila tidak shahih. Dan fenomena ini adalah sesuatu yang sangat bisa diterima di dalam dunia ilmu-ilmu keIslaman.
Wallahua'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.


Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih

Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih

REP | 02 August 2011 | 01:19 1196 14 1 dari 2 Kompasianer menilai menarik

1312222691511407673  
Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih
Oleh: A. Badruttamam Hasan*)
Bulan Ramadhan adalah bulan termulia; bulan turunnya Al-Qur`an untuk pertama kali, bulan penuh ampunan, rahmah serta ridho Allah Subhanahu wa Ta`ala, bulan yang penuh dengan momen-momen terkabulnya doa, di bulan ini terdapat lailatul qadar, yakni suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Bulan Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi umat Islam untuk memperbanyak pahala dengan melakukan berbagai macam amal ibadah.
Diantara ibadah yang mendapat penekanan khusus pada bulan Ramadhan adalah qiyam Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan qiyam pada (malam) bulan Ramadhan karena meyakini keutamaannya dan karena mencari pahala (bukan karena tujuan pamer atau sesamanya), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (Muttafaq `alaih).

Qiyam Ramadhan yang dimaksud pada hadits di atas bisa dilaksanakan dengan shalat Tarawih atau ibadah lainnya(1).

Kontroversi Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Perdebatan seputar jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal baru dalam kajian hukum Islam. Perdebatan itu adalah perdebatan klasik dan telah ada sejak masa para ulama salaf. Imam Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat shalat qiyam Ramadhan yang beliau kerjakan. Beliau menjawab: “Ada sekitar empat puluh pendapat mengenai masalah ini.” Imam al-`Aini menyebutkan sebelas pendapat ulama seputar jumlah raka`at shalat Tarawih(2)
.
Walaupun terjadi perbedaan semacam itu, perlu diketahui, shalat Tarawih boleh untuk dilakukan hanya dua rakaat saja atau berpuluh-puluh rakaat(3). Syekh Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa yang menduga bahwa sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki bilangan tertentu yang ditentukan oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak boleh ditambah atau dikurangi, maka sungguh dia telah salah.”(4) Para ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama(5). Kebanyakan ulama memilih dua puluh rakaat.(6) Namun ada juga beberapa pendapat yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain(7). Ibnu Taimiyah menganggap semuanya baik dan boleh dikerjakan(8).

Perbedaan ini muncul karena di dalam hadits-hadits yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat Tarawih itu selama dua atau tiga malam saja dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada awal masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu `anhu, tidak ada yang melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam di masjid(9).

Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.

Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.

1. Hadits Mauquf
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.

Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadits yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadits kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadits, hadits ini di sebut hadits mauquf (Hadits yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadits ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang
(laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para Shahabat Nabi.

Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat(13).

Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)

Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.

Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat(15).
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.

1. Hadits Ubay bin Ka`ab :
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء - يعني في رمضان - قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).
Hadits ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah haditsnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (haditsnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadits ini juga terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi)(16).
2. Hadits Jabir :
حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani)(17).

Hadits ini kualitasnya sama dengan Hadits Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.(18)
3. Hadits Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadits ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.

Dari segi sanad, hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadits ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.

Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat;
a. Pemotongan Hadits
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadits ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadits ini secara sempurna adalah sebagai berikut;

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadits boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadits di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadits ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadits ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam(20).

b. Kesalahan dalam Memahami Maksud Hadits.
Dalam hadits di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadits ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
عن عائشة - رضي الله عنها - : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari)(21).
c. Pemenggalan Haditst.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadits di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadits yang merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir(22).
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
d. Inkonsisten dalam Mengamalkan Haditst
Dalam hadits di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadits di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadits tersebut pada bulan Ramadhan saja.

e. Kontradiksi dengan Pemahaman para Shahabat Nabi
Pemenggalan hadits seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim)(24).

Dalam hadits yang lain disebutkan :

اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain)(25).
Dalam hadits yang lain juga disebutkan :

إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain)(26).
f. Kerancuan Linguistik
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27) Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan(28).
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma` shahabat di dukung hadits mauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.

Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?

Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui kesalahannya(29).
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat dengan khusyu`, khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.

WA ALLAH A`LAM BI AL-SHAWAB.
Catatan Kaki :
(1) Badrudin al-`Aini, `Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., XI/124. Ibnu Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Cairo : Dar al-Rayyan li al-Turats, 1407 H., IV/296.

(2) Badrudin al-`Aini, op.cit., XI/126-127. `Ala`uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al- Dimasyqi, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah min Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Alexanderia : Dar al-Iman, 2005 M, hal. 315-316. `Ala`uddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al- Mardawi, al-Inshaf fi Ma`rifah al-Rajih min al-Khilaf, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, 1419 H, II/128.

(3) Menurut madzhab Syafi`i, shalat Tarawih boleh dikerjakan mulai dari dua rakaat dan maksimalnya adalah dua puluh rakaat. Lihat antara lain: Said bin Muhammad Ba`asyan, Busyra al-Karim, Jeddah : Dar al-Minhaj, 1429 H/2008 M, hal. 316. Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim, Mesir : al-Mathba`ah al-`Amirah al-Syarafiyah, tt., II/469. periksa juga komentar al-Kurdi dan al-Tarmasi pada halaman yang sama.

(4) Mulla Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, hal. 175. Abd. Qadir Isa Diyab, al-Mizan al-`Adil li Tamyiz al-Haq min al-Bathil, Damaskus : Dar al-Taqwa, 1425 H/2005 M, hal. 247. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, al-Mausu`ah al-Yusufiyah, Damaskus : Dar al-Taqwa, tt., hal. 634.

(5) Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 246-248. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, loc.cit. Husain bin Ibrahim al-Maghribi, Qurrah al-`Ain bi Fatawa Ulama` al-Haramain, Maktabah `Arafat, tt., hal.

(6) Ibnu Abdil Bar al-Andalusi, al-Istidzkar, Abu Dabi : Mu`assasah al-Nida`, 1422 H, II/317-319. Muhammad Mahfuzh al- Tarmasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, Mesir : al-Mathba`ah al-`Amirah al-Syarafiyah, tt., II/465-467. Abd. Qadir `Isa Diyab, op.cit., hal. 243-247.
(7) Muhammad Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami` al-Tirmidzi, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., III/438-450.
(8) Ibnu Taimiyah, Majmu` al-Fatawa, Editor : Anwar al-Baz dan Amir al-Jazzar, Dar al-Wafa`, 1426 H/2005 M, XXIII/112-113. Mulla Ali al-Qari, loc.cit.
(9) KH. Ali Mustafa Yaqub, Hadits-hadits Bermasalah, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007, hal. 148.
(10) Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 242. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 632. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 148.
(11) Abdur Rahman al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Beirut : Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M, hal. 121. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 149.

(12) KH. Ali Mustafa Yaqub, loc.cit. menukil dari Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur`an al-Adzim, Riyadh : Dar `Alam al-Kutub, 1418/1998, I/571.
(13) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 155. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 635.
(14) Ibnu Taimiyah, loc.cit.

(15) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 156.
(16) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 139-140. menukil dari al-Dzahabi, Mizan al-I`tidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Beirut : dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311. Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 241.

(17) Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu`jam al-Ausath, Editor : Thariq bin `Awadh, Cairo : Dar al-Haramain, 1415 H, IV/108.

(18) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 140. Abd. Qadir Isa Diyab, loc.cit.
(19) Abdur Rahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 303.

(20) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 143.

(21) Ibid.
(22) Ibid., hal. 146.
(23) Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami` al-Shahih, Editor : Ahmad Muhammad Syakir dkk., Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., II/319.

(24) Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi`i al-Kabir.

(25) Abdur Rahman al-Suyuthi, al-Jami` al-Shaghir. Isma`il bin Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa` wa Muzil al-Ilbas, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., I/160
(26) Abdur Rahman al-Suyuthi, Jami` al-Ahadits. Isma`il bin Muhammad al-Ajluni, op.cit., I/223.
(27) Ibnu Mandzur, Lisan al-`Arab, Beirut : Dar Sadir, tt., II/455. Muhammad Murtadha al-Zabidi, Taj al-`Arus min Jawahir al-Qamus. Ahmad al-Fayyumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir. Majma` al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu`jam al-Wasith, Cairo : Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 1425 H/2004 M, hal. 380. Dr. Muhammad Rowa Qal`ah Jie dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi, Mu`jam Lughah al-Fuqaha`, Amman : Dar al-Nafa`is, tt., I/127. Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Editor : Abd al-Salam Muhammad Harun, Ittihad al-Kitab al-`Arab, 1423 H/2002 M, II/378.

(28) Dr. Ali Gom`ah, al-Bayan lima Yusyghil al-Adzhan, Mi`ah Fatwa li Radd Ahamm Syubah al-Kharij wa Lamm Syaml al-Dakhil, Cairo : Dar al-Moqattham, 2009 M, hal. 272-273. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 137.

(29) Disarikan dari nasehat Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad di dalam kitab beliau, Nasha`ih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, hal. 175.

*) Penulis adalah mahasiswa tingkat IV al-Ahgaff Univrsity, Fakultas Syariah, di Tarim-Hadhramaut. Sekarang manjabat sebagai Rais Syuriah PCI NU Yaman. Dan tulisan ini telah dimuat di http://nuyaman.blogspot.com/2010/08/problematika-bilangan-rakaat-shalat.html.

Rabu, 27 April 2011

AMALAN YANG BERMANFAAT BAGI MAYIT

Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An Najm: 39).
Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf  mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]
Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya.
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]
Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.[15]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).
Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]

Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
***
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id  (http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html)

[1] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H [2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.
[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.
[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619
[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam
[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525
[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638
[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Muslim no. 1631
[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H
[12] HR. Bukhari no. 2756
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.
[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy Syamilah

Rabu, 09 Maret 2011

Menguak Sesatnya Ahmadiyah(bag.II.Kebohongan Tazkirah)

Menguak Sesatnya Ahmadiyah(bag.II.Kebohongan Tazkirah)

Kitab Tazkirah
Kitab tazkirah adalah kitab suci aliran ini namun jarang diangkat atau digunakan untuk pengikutnya yang awam. Kitab ini mengumpulkan/memuat wahyu-wahyu atau ilham dari Allah kepada Mirza. Selain dalam kitab tazkirah, kumpulan wahyu ini sebagian ada dalam kitab yang ditulis Mirza sendiri, yaitu Barahiyn Ahmadiyah.
Kitab tazkirah adalah sebagai konsekwensi Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai nabi dan mendapat wahyu dari Tuhan, maka wahyu tersebut harus dibuktikan keberadaannya. Untuk pembuktian keberadaannya maka wahyu itu dibukukan sebagaimana kitab suci yang lainnya, yaitu Tazkirah. Ciri-ciri Tazkirah secara umum yaitu: - Tazkirah tidak terbagi dalam surat-surat, tetapi sekaligus satu surat.
- Tidak ada juga pembagian ayat demi ayat yang jelas.
- Tidak semua wahyu itu dalam bahasa Arab, tetapi sebagian kalimat masih ada yang berbahasa Urdu
- Apa yang diklaim sebagai wahyu itu diawali dengan mimpi bertemu dengan nabi Muhammad saw, baru kemudian wahyu turun
- Disusunnya bukan berdasarkan urutan wahyu yang diklaim, sebab wahyu yang pertama turun adalah “Wassamaai wathooriq” kemudian “Alaisallahu bi kaafa ‘abdih”
- Dan ayat yang diklaim sebagai ayat pertama dan kedua tadi, justru lupa dimasukkan dalam kumpulan wahyu ini.
Kebohongan Dalam Kitab Tazkirah
Bagi umat Islam yang sudah terbiasa membaca Al-Qur’an apalagi mengerti yang artinya akan dengan mudah dan langsung mengatakan bahwa Tazkirah adalah bajakan Al-Qur’an.
Namun tidak semudah itu kita dapat membantahnya. Sebab mereka dapat saja mengelak dan mengatakan mengatakan bahwa di dalam ayat Al-qur’anpun terdapat beberapa ayat serta cerita yang sama dengan kitab suci yang sebelumnya.
Mudah sekali untuk menjawab pertanyaan ini, karena meski bermakna sama, apalagi mengenai aqidah, Al-Qur’an tetap berbeda dengan Injil, Taurat dan zabur. Berikut bukti-buktinya:
  1. Allah tidak menurunkan wahyu kepada seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. Lihat firman Allah dalam surat Ibrahim (ayat 4) “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. Karena itulah Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, Injil dalam bahasa Siryani, dan Taurat dalam bahasa Ibrani.
  2. Kalaulah wahyu turun kepada Mirza yang orang Pakistan/India dan berbahasa Urdu, maka kenapa wahyunya berbahasa Arab?
  3. Jika tetap ingn mengatakan bahwa di Al-Qur’an pun terdapat beberapa kata non arab, maka wajar kalau tazkirah pun terdapat bahasa arab. Dalam Al-qur’an jika ingin tetap mengatakan ada beberapa yang bukan bahasa Arab, meski itu dibantah oleh banyak ulama, akan tetapi itu hanya kata, bukan dalam bentuk kalimat. Yang terjadi di dalam Tazkirah adalah bentuk kalimat berbahasa Arab yang sama persis dengan Al-Qur’an, hanya dipotong dan disambung dengan ayat lain sesuai dengan kebutuhan.
  4. Jika Al-qur’an adalah mu’jizat, lalu setan dan manusia ditantang untuk membuat yang sama dengan Al-Qur’an, ternyata tidak ada yang mampu, maka seharusnya Tazkirah (yang katanya wahyu) juga sama seperti Al-Qur’an, semua orang ditantang untuk membuat yang seperti itu. Tantangan ini akan sangat janggal sekali untuk tazirah. Sebab bagaimana akan menantang kalau Tazkirah itu hanya bajakan dan daur ulang Al-Qur’an?
  5. Jika tetap ngotot juga, maka ketahuilah bahwa setiap ayat Al-Qur’an mempunyai makna dan balaghah yang luar biasa indahnya. Adakah itu dalam Tazkirah? Kalau ada, hal itu karena bajakan dari Al-Qur’an. Semakin lama bahasanya semakin jelek, sebab ayat-ayat Al-Qur’annya sudah banyak yang dirubah-ubah, bukan hanya dipindah tempatkan.
Karena kitab tazkirah hanya berisi pengukuhan kenabian Mirza, tidak ada konsep ketuhanan, tidak ada syariat dan hukum, maka hal ini dapat dipastikan karena mereka tidak sanggup untuk membuat konsepnya, meski Cuma sekedar mengaduk-aduk. Untuk itu diputuskanlah (oleh mereka) bahwa syariatnya sama dengan syariat Islam yang asli.
Kerancuan ini adalah bentuk dari upaya ingin memadukan konsep yang tanggung, dimana kedudukan Mirza Ghulam Ahmad?
* Apakah ingin menjadi Al-Masih?
* Apakah ingin menjadi Al-Mahdi?
* Atau ingin menjadi Nabi?
* Atau ingin menjadi Rasul?
Jika ingin menjadi Al-Mahdi, maka tidak ada syariat baru, namun seharusnya tidak jadi nabi dan rasul. Kenapa Mirza mengaku menjadi nabi dan rasul?
Jika ingin menjadi nabi, kenapa masih juga mengaku Al-Mahdi?, kenapa mendapatkan wahyu yang terkumpul dan berisi ajakan seruan kepada orang lain yang merupakan tugas seorang rasul.
Al-Masih dan Al-Mahdi adalah konsep yang berbeda. Al-Masih adalah nabi yang diangkat dan diturunkan kembali (menjelang hari kiamat), bukan orang yang dilahirkan kembali. Mirza adalah orang yang dilahirkan di Qodian, bapak ibunya jelas, kenapa masih tetap ingin mengaku Al-Masih.
Jika ingin menjadi Rasul, kenapa masih juga mengaku Al-Masih dan Al-Mahdi. Padahal, selain berbeda, Rasul itu lebih tinggi dari Al-Mahdi, dan Al-Masih bukan orang yang baru dilahirkan. Mirza jelas-jelas mengaku dan diakui oleh jamaahnya lahir pada tahun 1835 M.
Lalu jika sudah mengklaim menjadi nabi, lalu mendapat wahyu yang harus disampaikan kepada orang lain yang juga berarti menjadi rasul, kenapa masih harus mendompleng syariat orang lain?. Tidak mampukah Tuhan, dalam konsep mereka, menurunkan syariat baru, atau mereka tidak mampu melakukannya.
Al-Mahdi dan Al-Masih adalah dua orang yang berbeda, kenapa bisa terdapat dalam satu orang.
Kalaulah A-Qur’an sudah sedemikian baik dan indah. Bukankah menjadi aneh Tuhan menurunkan wahyu dengan bahasa yang semakin jelek, tidak tersusun, tidak teratur, dan tidak sistematis. Semua menunjukan Tuhan semakin bodoh. Mungkinkah itu? Kalaulah bukan karena kebohongan dan kebohongan, apakah ini terjadi?. Bukankah Allah sudah menantang kepada siapa saja, jin dan manusia, untuk membuat tandingan Qur’an. Tentu kejanggalan demi kejanggalan jelas terlihat dan akan semakin terlihat ketika kita membaca kitab ini lebih jauh.
Pemotongan ayat dan menggabungkannya dengan surat lain yang tidak semakna, menjadikan Tazkirah seperti itu. Maka tidak ada kesimpulan yang lebih tepat dari kebohongan. Tazkirah bukan wahyu Allah.
Mirza Ghulam Ahmad haus dengan pujian dan kedudukan. Tidak cukup dihormati sebagai guru (ustadz) lalu orang shaleh, lalu orang alim, masih ingin pujian dan kedudukan yang lebih dari itu. Ingin menjadi Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu, tidak cukup, ingin menjadi Al-Masih, manusia yang pernah diangkat kelangit dan akan diturunkan kembali kedunia menjelang kiamat, inipun tidak cukup. Ingin menjadi nabi, manusia pilihan, tidak cukup juga ingin menjadi rasul yang mendapatkan wahyu.
Rupanya masih tidak cukup penghormatan tersebut, Mirza mengklaim bahwa surga ada di bawah dan di sekitar kuburnya. Ia masih ingin membohongi pengikutnya sekalipun dia sudah mati. Dengan mata gelap dan hati tertutup, pengikutnya juga bahwa di tanah Qodyan dan Rabwah sana terdapat surga yang dijanjikan nabi dan rasul mereka, Mirza.
Jika jamaah Ahmadiyah mengatakan Tazkirah bukan kitab suci mereka kaena Mirza tidak pernah menulisnya. Tazkirah adalah sebuah buku yang berisi kumpulan wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf, serta mimpi-mimpi yang diterima Mirza dalam hidupnya selama lebih dari 30 tahun, kitab Tazkirah ini dibuat atas prakarsa Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sekitar tahun 1935 (lihat MA.Suryawan, Bukan Sekedar Hitam Putih, hal.51-52).
Tidakkah sebuah wahyu kepada seorang nabi, lalu dikumpulkan dan di bukukan, baik sewaktu sang nabi masih hidup maupun sudah meninggal, buku tersebut dikatakan kitab suci. Oleh agama manapun. Kalaulah Tazkirah tidak dikatakan suci oleh mereka, kenapa isinya sering digunakan sebagai doktrin ajaran mereka.
Beberapa Doktrin Lain Yang Sesat:
Bai’at
Konsep bai’at Jamaah Amadiyah sekilas mirip dengan keyakinan umat Islam Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah), syahadahnya sama, istighfarnya juga sama. Namun, bagi yang teliti, pada alinea terakhir bai’at tersebut termaktub:
“Saya senantiasa tunduk-taat kepada Yang Mulia dengan sepenuhnya dalam menjalankan segala pekerjaan baik yang akan ditunjukkan oleh Yang Mulia. Saya akan tetap meyakini Nabi Suci Muhammad SAW sebagai Khataman Nabiyyin (yang Paling Mulia dari sekalian Nabi) dan akan beriman kepada segala da’wa (pengakuan) Hadhrat Masih Mau’ud as”.
Dari sinilah orang selanjutnya digiring kejurang kesesatan dan pemurtadan. Sebab dia harus mengakui apa yang dida’wa (pengkuan) Hadhrat Masih Mau’ud as, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Yang mengaku sebagai Al-Mahdi, Al-Masih, Nabi, dan juga Rasul. Untuk membuka pengakuan ini, jamaah terlebih dahulu diminta mengakui konsep Nabi Suci Muhammad sebagai Khataman Nabiyyin yang menurut mereka adalah Yang Paling Mulia dari sekalian Nabi bukan sebagai penutup atau Nabi terakhir.
Kesesatan Konsep Bahtera Nuh/Kisti Nuh.
Terdapat ajaran atau lebih tepatnya doktrin yang merupakan cirri dan pengikat ajaran ini selain bai’at. Yaitu yang lebih dikenal dengan doktrin Bahtera Nuh. Berikut petikannya:
“Hendaknya hal ini dipahami dengan jelas, bahwa bai’at hanya berupa ikrar dilidah saja tidaklah punya arti apa-apa, jika tidak ditunjang oleh suatu kebulatan tekad hendak melaksanakan janji dengan sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengamalkan ajaranku selengkapnya, ia termasuk rumah ini-perihal rumah mana ada janji dari Allah SWT :” Inni uhaa fidzu kulla man fiddaari (Tiap-tiap orang yang berada di dalam dinding rumahmu akan Kuselamatkan)”.
Tetapi dalam hal ini hendaknya janganlah diartikan, bahwa perlindungan Ilahi ini hanya diberikan kepada mereka yang berdiam di rumahku yang terbuat dari tanah dan batu bata ini, melainkan janji itu melingkupi pula mereka yang menaati ajaranku selengkap-lengkapnya, dan yang karenanya benar-benar dapat dikatakan sebagai penghuni rumah-rohaniku”.
Dalam konsep ini jelas sekali jamaah Ahmadiyah mengklaim bahwa yang benar dan yang selamat adalah mereka yang masuk ke rumahku (Mirza Ghulam). Orang yang masuk ke rumahku adalah yang mengamalkan ajaranku secara sempurna.
Dari sinilah timbul dan muncul pengakuan dan penyesatan berikutnya, antara lain:
  1. Yang benar hanya ajaran Ahmadiyah
  2. Selain pengikut jamaah ini adalah sesat, tidak selamat dan tidak masuk surga
  3. Karena itu mereka mendirikan masjid sendiri, imam sendiri, komunitas sendiri.
Kalau sudah seperti ini masih layakkah ajaran seperti ini disebut/dikategorikan sebagai ajaran Islam? Bukankah mereka sudah memandang orang lain diluar agama mereka, termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah adalah salah dan sesat?
Mereka tidak layak untuk mengklaim agamanya adalah Islam. Beda, sangat berbeda sekali. Kata yang tepat untuk mereka adalah “Lakum dinukum walyadin (Bagimu (hai… jamaah ahmadiyah) agamamu dan bagiku agamaku)”.
Sumber : Buku Menguak Kesesatan Aliran Ahmadiyah, karangan Dr.Ahmad Lutfi Fatullah, MA.(Dosen PascaSarjana untuk mata kuliah Hadits dan ilmu Hadits di UIN Jakarta, UI, IIQ Jakarta, IAIN SGDBandung, Univ.Muhammadiyah, UIN-McGill Canada, Dosen penguji Siswazah Univ. Kebangsaan Malaysia)
Penerbit : Al-Mughni Press.
Tulisan terkait
menguak-sesatnya-ahmadiyah/

MENGUAK SESATNYA AHMADIYAH

Sejarah Munculnya Aliran Ahmadiyah
Aliran ini sekarang kembali banyak diberitakan terkait keluarnya surat rekomendasi dari badan PAKEM nasional, yang merekomendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan aliran ini. Karena dinilai sudah melanggar 12 kesepakatan bersama, yang salah satunya adalah melarang aliran Ahmadiyah melakukan aktivitasnya di depan umum. Meskipun aliran ini memang terbukti sesat, namun sulit membubarkannya, karena di backup oleh Negara-negara kuat, salah satunya adalah Inggris. Dan bagi orang awam akan cukup sulit membedakan ajaran mereka dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Karena di awal merekrut anggota mereka akan mengatakan Nabi Muhammad juga nabi mereka, dan syahadatnya juga sama. Hanya saja mereka mengatakan/menafsirkan Khatamannabiyyin sebagai nabi termulia, bukan penutup para Nabi dan Rasul.
Sejarah Ahmadiyah tidak lepas dari pendirinya yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Seorang pengikut ahmadiyah yang kemudian menjadi khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menulis riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad. Berikut petikannya:
“Pendiri Jemaat Ahmadiyah bernama Hazrat MIrza Ghulam Ahmad. Nama beliau yang asli hanyalah Ghulam Ahmad. Mirza melambangkan keturunan Moghul (Kerajaan Islam yang pernah ada di India). Kebisaannya adalah suka menggunakan nama Ahmad bagi nama beliau secara ringkas. Maka, waktu menerima bai’at dari orang-orang, beliau hanya memakai nama ahmad. Dalam ilham-ilham, Allah Ta’ala sering memanggil beliau dengan nama Ahmad juga. Hazrat Ahmad lahir pada tanggal 13 februari 1835 M, atau 14 Syawal 1230H, hari jum’at pada waktu sholat subuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar, saat ia lahir, beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama kemudian meninggal. Demikianlah sempurna sudah kabar gaib yang tertera di dalam kitab-kitab agama Islam bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar. Qadian terletak 57km sebelah timur kota Lahore, dan 24km kota Amritsar di propinsi Punjab India”.
Lebih jauh perkembangan pergerakan ini ditulis: “Pergerakan jamaah Ahmadiyah dalam islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Saat ini jumlah anggotanya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang, dan angkanya terus bertambah dari hari ke hari. Jemaah ini adalah golongan islam yang paling dinamis dalam sejarah era modern. Jamaah ahmadiyah didirikan tahun 1889 oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ( 1835-1908 ) di qadian, suatu desa didaerah Punjab, India. Beliau mendakwahkan diri sebagai pembaharu (mujadid) yang diharapkan dating di akhir zaman dan beliau adalah seseorang yang ditunggu kedatangannya oleh semua masyarakat beragama (Mahdi dan Al-Masih). Beliau memulai pergerakan ini sebagai perwujudan dari ajaran dan pesan Islam yang sarat dengan kebajikan, perdamaian, persaudaraan, universal dan tunduk patuh pada kehendakNya dalam kemurnian yang sejati. Hazrat Ahmad menyatakan bahwa Islam sebagai agama bagi umat manusia:”Agama orang-orang yang berada di jalan yang lurus”.
Setelah wafatnya pendiri jamaah Ahmadiyah, gerakan ini dipimpin oleh para khalifah:
Khalifah Masih I : Hazrat Maulvi Nuruddin (1908-1914)
Khalifah Masih II : Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965)
Khalifah Masih III : Hazrat Hafiz Nasir Ahmad (1965-1983)
Khalifah Masih IV : Mirza Tahir Ahmad (1983-2003)
Khalifah Masih V : Hazrat Mirza Masroor Ahmad (2003-sekarang).
Kenabian Mirza Ghulam Ahmad
Para pendakwah Ahmadiyah sering mengelak dan berkilah dari konsep kenabian Mirza. Sebab, jika diawal mereka terang-terangan mengakui kenabian Mirza, maka akan mudah lawan-lawan Ahmadiyah menyerangnya dan mengatakannya sesat, diluar Islam, maka aliran ini akan sulit mendapatkan simpati dan pengikut.
Berikut beberapa teks dari buku-buku yang dikarang sendiri oleh Mirza atau pengikut aliran ini, yang menunjukan bahwa Mirza Ghulam Ahmad nabi ataukah manusia biasa:
  1. Dari terjemahan buku Ahmadiyah yang berjudul (The Ahmadiyya Movement in Islam inc.) karangan Louis J. Hamman dari Gettysburg College, terjemahannya direstui oleh Syekh Mubarrak Ahmad, tertulis sebagai berikut: “Bagaimanapun sampai umur 41 tahun (1876) Hazrat Ahmad mulai menerima banyak wahyu yang akan membawanya pada keyakinan bahwa didalam pribadinya telah genap datangnya Al-Mahdi. “Setelahnya”, sebagaimana kata Zafrullah Khan, “telah diwahyukan kepadanya bahwa ia juga adalah Al-Masih yang dijanjikan dan benar-benar seorang nabi yang dating seperti yang telah dikabarkan dalam agama-agama utama di dunia “. Ia adalah “juara yang berasal dari Tuhan dengan jubah pakaian semua para Nabi”.
  2. Dalam buku yang juga dikeluarkan oleh jamaah Ahmadiyah berjudul “Perjalanan Mirza Ghulam Ahmad” termuat sebagai berikut:
- Tahun 1876 Hazrat Ahmad berusia kurang lebih 40 tahun ketika ayah beliau sakit, dan penyakitnya tidaklah begitu berbahaya. Tetapi Allah menurunkan ilham ini kepada beliau: “Persumpahan demi langit yang merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah tenggelamnya matahari pada hari ini”.
Tiba-tiba saya rasakan seperti tidur dan menerima ilham yang kedua: “Apakah Allah tidak cukup bagi HambaNya?”
- Di dalam buku itu, Hazrat Ahmad juga mencantumkan beberapa ilham yang beliau terima, sebagian diantaranya kami paparkan disini supaya terlihat bukti-bukti kebenarannya: “Seorang nabi telah datang ke dunia, namun dunia tidak menerimanya”.
“Akan datang kepadamu hadiah-hadiah dari tempat-tempat yang jauh dan orang-orang banyak akan datang dari tempat-tempat yang jauh”.
Pendakwaan Diri sebagai Masih Mau’ud
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–> “Pada tahun 1891 telah terjadi suatu perubahan yang amat besar, yakni Hazrat Ahmad diberi ilham oleh Allah bahwasannya Nabi Isa yang ditunggu-tunggu kedatangannya kedua kali itu telah wafat dan tidak akan datang lagi kedunia ini. Kedatangan nabi Isa kedua adalah orang lain yang akan datang dengan sifat dan cara seperti nabi Isa, yaitu Hazrat Ahmad sendiri orangnya.
  1. Dalam buku yang dikeluarkan oleh jamaah Ahmadiyah yang berjudul: Analisa Tentang Khataman Nabiyyin, dinukil beberapa perkataan Mirza: “Kami beriman bahwa nabi Muhammad berpangkat Khataman dan sesudah beliau tidak akan ada seorangpun terkecuali yang dipelihara oleh faidh dan berkatnya dan sudah dinyatakan oleh janjinya”.
“Sesungguhnya nabi kita(Muhammad) adalah khatamul anbiyaa, sesudah beliau tidak ada seorangpun nabi, terkecuali orang yang diterangi oleh nur beliau dan yang penzahirannya adalah bayangan dari penzahiran beliau”.
Lalu penulis buku itu menyimpulkan: “Yang menjadi perbedaan antara kami jamaah Ahmadiyah dengan golongan Islam lain hanyalah satu, kami percaya bahwa nabi yang dijanjikan sudah datang, yakni Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad”.
  1. Dalam buku Ajaranku yang ditulis oleh Mirza sendiri termuat: “Aku sekali-kali tidak mengingkari keluhuran Hazrah Isa, sungguhpun kepadaku Tuhan mengabarkan bahwa Masih Muhammadi berkedudukan lebih tinggi dari Masih Musawi, akan tetapi aku memberi penghormatan yang sangat tinggi terhadap Masih ibnu Maryam, oleh sebab dalam segi kerohanian aku adalah Khatamul Khulafa di dalam Islam, seperti halnya Masih ibnu Maryam adalah Khatamul Khulafa di dalam silsilah Israil. Dalam Syariah Musa, Isa ibnu Maryam adalah Masih Mau’ud, sedangkan di dalam syariah Muhammad SAW akulah Masih Mau’ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku, dan barang siapa yang mengatakan bahwa aku tidak menghormati beliau, dialah seorang pembuat onar dan seorang pendusta besar”.
Dari beberapa tulisan di atas, jelas dan tidak diragukan lagi bahwa:
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya sebagai nabi dan rasul yang menerima wahyu
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>Kadang Mirza juga mengaku sebagai Al-Mahdi, kadang Al-Masih dan kadang Al-Mau’ud atau Masih Mau’ud
<!–[if !supportLists]–>- <!–[endif]–>Para pengikut aliran ini sepakat bahwa Mirza adalah nabi dan menerima wahyu
Disinilah kesesatan mereka mulai terihat.
Sumber : Buku Menguak Kesesatan Aliran Ahmadiyah, karangan Dr.Ahmad Lutfi Fatullah, MA.(Dosen PascaSarjana untuk mata kuliah Hadits dan ilmu Hadits di UIN Jakarta, UI, IIQ Jakarta, IAIN SGDBandung, Univ.Muhammadiyah, UIN-McGill Canada, Dosen penguji Siswazah Univ. Kebangsaan Malaysia)
Penerbit : Al-Mughni Press.
Tulisan Terkait:
menguak-sesatnya-ahmadiyahbagiikebohongan-tazkirah/

Ahmadiyah Kelompok Pengekor Nabi Palsu

Apa Itu Ahmadiyah ?
Ahmadiyah adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900M, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran/bentuk khusus, sehingga tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan ini dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah “Majalah Al-Adyan” yang diterbitkan dengan bahasa Inggris.
Siapakah Mirza Ghulam Ahmad ?
Mirza Ghulam Ahmad hidup pada tahun 1839-1908M. Dia dilahirkan di desa Qadian, di wilayah Punjab, India tahun 1839M. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan dan senantiasa mentaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris. Oleh pengikutnya dia dikenal sebagai orang yang suka menghasut/berbohong, banyak penyakit, dan pecandu narkotik.
Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka. Sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada pemerintah Inggris.
Di antara yang melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin Jami’ah Ahlul Hadits di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza Ghulam Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan pengakuannya.
Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama), agar Allah mematikan siapa yang berdusta di antara mereka, dan yang benar tetap hidup. Tidak lama setelah bermubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908M.
Pada awalnya Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para da’i Islam yang lain, sehingga berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaharu). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia mati meninggalkan lebih dari 50 buku, buletin serta artikel hasil karyanya.
Di antara kitab terpenting yang dimilikinya berjudul Izalatul Auham, I’jaz Ahmadi, Barahin Ahmadiyah, Anwarul Islam, I’jazul Masih, At-Tabligh dan Tajliat Ilahiah.
Pemikiran dan Keyakinan Ahmadiyah
  1. Meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih yang dijanjikan.
  2. Meyakini bahwa Allah berpuasa dan melaksanakan shalat, tidur dan mendengkur, menulis dan menyetempel, melakukan kesalahan dan berjimak. Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari apa yang mereka yakini.
  3. Keyakinan Ahmadiyah bahwa tuhan mereka adalah Inggris, karena dia berbicara dengannya menggunakan bahasa Inggris.
  4. Berkeyakinan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan memberikan wahyu dengan diilhamkan sebagaimana Al-Qur’an.
  5. Menghilangkan aqidah/syariat jihad dan memerintahkan untuk mentaati pemerintah Inggris, karena menurut mereka pemerintah Inggris adalah waliyul amri (pemerintah Islam) sebagaimana tuntunan Al-Qur’an.
  6. Seluruh orang Islam menurut mereka kafir sampai mau bergabung dengan Ahmadiyah. Seperti bila ada laki-laki atau perempuan dari golongan Ahmadiyah yang menikah dengan selain pengikut Ahmadiyah, maka dia kafir.
  7. Membolehkan khamer, opium, ganja dan apa saja yang memabukkan.
  8. Mereka meyakini bahwa kenabian tidak ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi terus ada. Allah mengutus rasul sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Dan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang paling utama dari para nabi yang lain.
  9. Mereka mengatakan bahwa tidak ada Al-Qur’an selain apa yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad. Dan tidak ada Al-Hadits selain apa yang disampaikan di dalam majelis Mirza Ghulam Ahmad. Serta tidak ada nabi melainkan berada di bawah pengaturan Mirza Ghulam Ahmad.
  10. Meyakini bahwa kitab suci mereka diturunkan (dari langit), bernama Al-Kitab Al-Mubin, bukan Al-Qur’an Al-Karim yang ada di tangan kaum muslimin.
  11. Mereka meyakini bahwa Al-Qadian (tempat awal gerakan ini) sama dengan Madinah Al-Munawarah dan Mekkah Al-Mukarramah ; bahkan lebih utama dari kedua tanah suci itu, dan suci tanahnya serta merupakan kiblat mereka dan kesanalah mereka berhaji.
  12. Mereka meyakini bahwa mereka adalah pemeluk agama baru yang indenpenden, dengan syarat yang indenpenden pula, seluruh teman-teman Mirza Ghulam Ahmad sama dengan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akar Pemikiran dan Keyakinan Ahmadiyah
  1. Bermula dari gerakan orientalis bawah tanah yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan yang menyebarkan pemikiran-pemikiran menyimpang ; yang secara tidak langsung telah membuka jalan bagi munculnya gerakan Ahmadiyah.
  2. Inggris menggunakan kesempatan ini dan membuat gerakan Ahmadiyah, dengan memilih untuk gerakan ini seorang lelaki pekerja dari keluaga bangsawan.
  3. Pada tahun 1953M, terjadilah gerakan sosial nasional di Pakistan menuntut diberhentikannya Zhafrillah Khan dari jabatannya sebagai menteri luar negeri. Gerakan itu dihadiri oleh sekitar 10 ribu umat muslim, termasuk pengikut kelompok Ahmadiyah, dan berhasil menurunkan Zhafrillah Khan dari jabatannya.
  4. Pada bulan Rabiul Awwal 1394H, bertepatan dengan bulan April 1974M dilakukan muktamar besar oleh Rabhithah Alam Islami di Mekkah Al-Mukarramah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh lembaga-lembaga Islam seluruh dunia. Hasil muktamar memutuskan “Kufurnya kelompok ini dan keluar dari Islam. Meminta kepada kaum muslimin berhati-hati terhadap bahaya kelompok ini dan tidak bermu’amalah dengan pengikut Ahmadiyah, serta tidak menguburkan pengikut kelompok ini di pekuburan kaum Muslimin”.
  5. Majelis Rakyat (Parlemen) Pakistan melakukan debat dengan gembong kelompok Ahmadiyah bernama Nasir Ahmad. Debat ini berlangsung sampai mendekati 30 jam. Nasir Ahmad menyerah/tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan tersingkaplah kedok kufurnya kelompok ini. Maka majelis parlemen mengeluarkan keputusan bahwa kelompok ini lepas dari agama Islam.
Hal-Hal yang Mewajibkan Kafirnya Mirza Ghulam Ahmad
  1. Pengakuannya sebagai nabi.
  2. Menghapus kewajiban jihad dan mengabdi kepada penjajah.
  3. Meniadakan berhaji ke Mekkah dan menggantinya dengan berhaji ke Qadian.
  4. Penyerupaan yang dilakukannya terhadap Allah dengan manusia.
  5. Kepercayaannya terhadap keyakinan tanasukh (menitisnya ruh) dan hulul (bersatunya manusia dengan tuhan).
  6. Penisbatannya bahwa Allah memiliki anak, serta klaimnya bahwa dia adalah anak tuhan.
  7. Pengingkarannya terhadap ditutupnya kenabian oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membuka pintu bagi siapa saja yang menginginkannya.
Penyebaran dan Aktifitas Ahmadiyah
  1. Penganut aliran Ahmadiyah kebanyakan hidup di India dan Pakistan dan sebagian kecilnya di Israel dan wilayah Arab. Mereka senantiasa membantu penjajah agar dapat membentuk/membangun sebuah markas di setiap negara di mana mereka berada.
  2. Ahmadiyah memiliki pekerjaan besar di Afrika dan pada sebagian negara-negara Barat. Di Afrika saja mereka beranggotakan kurang lebih 5000 mursyid dan da’i yang khusus merekrut manusia kepada kelompok Ahmadiyah. Dan aktifitas mereka secara luas memperjelas bantuan/dukungan mereka terhadap penjajahan.
  3. Keadaan kelompok Ahmadiyah yang sedemikian, ditambah perlakuan pemerintah Inggris yang memanjakan mereka, memudahkan para pengikut kelompok ini bekerja menjadi pegawai di berbagai instansi pemerintahan di berbagai negara, di perusahaan-perusahaan dan persekutuan-persekutuan dagang. Dari hasil kerja mereka itu dikumpulkanlah sejumlah dana untuk membiayai dinas rahasia yang mereka miliki
  4. Dalam menjalankan misi, mereka merekrut manusia kepada kelompok Ahmadiyah dengan segala cara, khsusnya media massa. Mereka adalah orang-orang yang berwawasan dan banyak memiliki orang pandai, insinyur dan dokter. Di Inggris terdapat stasiun pemancar TV dengan nama “TV Islami” yang dikelola oleh penganut kelompok Ahmadiyah.
Pemimpin-Pemimpin Ahmadiyah
  1. Pemimpin Ahmadiyah sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad bernama Nuruddin. Pemerintah Inggris menyerahkan kepemimpinan Ahmadiyah kepadanya dan diikuti para pendukungnya. Di antara tulisannya berjudul “Fashlb Al-Khithab“.
  2. Pemimpin lainnya adalah Muhammad Ali dan Khaujah Kamaluddin. Amir Ahmadiyah di Lahore. Keduanya adalah corong dan ahli debat kelompok Ahmadiyah. Muhammad Ali telah menulis terjemah Al-Qur’an dengan perubahan transkripnya ke dalam bahasa Inggris. Tulisannya yang lain. Haqiqat Al-Ikhtilaf An-Nubuwah Fi Al-Islam dan Ad-Din Al-Islami. Khaujah Kamaluddin menulis kitab yang berjudul Matsal Al-A’la Fi Al-Anbiya serta kitab-kitab lain. Jamaah Ahmadiyah Lahore ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah seorang mujadid. Tetapi yang berpandangan seperti ini dan yang tidak, mereka sama saja saling mengadopsi satu sama lain.
  3. Muhammad Shadiq, mufti kelompok Ahmadiyah. Di antara tulisannya berjudul Khatam An-Nabiyyin.
  4. Basyir Ahmad bin Ghulam, pemimpin pengganti kedua setelah Mirza Ghulam Ahmad. Di antara tulisannya berjudul Anwar Al-Khilafah, Tuhfat Al-Muluk, Haqiqat An-Nubuwwah.
  5. Dzhafrilah Khan, menteri luar negeri Pakistan. Dia memiliki andil besar dalam menolong kelompok sesat ini, dengan memberikan tempat luas di daerah Punjab sebagai markas besar Ahmadiyah sedunia, dengan nama Robwah Isti’aroh (tanah tinggi yang datar) yang diadopsi dari ayat Al-Qur’an: “Dan Kami melindungi mereka di suatu Robwah Isti’aroh (tanah tinggi yang datar) yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Qs. Al-Mukminun: 50)
Kesimpulan
Ahmadiyah adalah kelompok sesat yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Aqidah (keyakinan) mereka berbeda dengan keyakinan agama Islam dalam segala hal. Kaum Muslimin perlu diperingatkan atas aktifitas mereka, setelah para ulama Islam memfatwakan bahwa kelompok ini kuffur.
Maraji’:
  1. Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Fi Al-Adyan Wa Al-Madzahib Wa Al-Ahzab Al-mu’ashirah, oleh DR Mani’ Ibnu Hammad al-Jahani
  2. Tabshir Al-Adhan bi Ba’di Al-Madzahib wa Al-Adyan, oleh Muhammad As-Sabi’i
***
Sumber: Majalah Fatawa Vol. 06. Th. II 1425H/2004M.
Disusun dan dialihbahasakan oleh: Abu Asiah
Artikel dari almanhaj.or.id dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id