tag:blogger.com,1999:blog-15116374169564737082024-03-04T22:56:14.677-08:00BAHAN PENGAJIANMUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.comBlogger24125tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-74168637669557335342013-12-08T23:34:00.004-08:002013-12-08T23:34:43.638-08:00<h4 class="heading backcolr singlepage">
Ketika Saudara Kita Sakit</h4>
<div class="post detail">
<div class="postoptions">
<br />
</div>
<div class="thumb">
<a href="http://www.darussalaf.or.id/nasehat/ketika-saudara-kita-sakit/"><img alt="Ruang-Perawatan-Mawar-VIP" class="attachment-blog-post wp-post-image" height="318" src="http://www.darussalaf.or.id/wp-content/uploads/2012/11/Ruang-Perawatan-Mawar-VIP-704x318.jpg" width="704" /></a>
</div>
<div class="postdesc">
<a href="http://www.darussalaf.or.id/wp-content/uploads/2012/11/Ruang-Perawatan-Mawar-VIP.jpg"><img alt="" class="aligncenter size-medium wp-image-4350" height="188" src="http://www.darussalaf.or.id/wp-content/uploads/2012/11/Ruang-Perawatan-Mawar-VIP-300x188.jpg" title="Ruang-Perawatan-Mawar-VIP" width="300" /></a>Para pembaca <em>rahimakumullah</em>,
Islam sebagai agama yang sempurna senantiasa memperhatikan segala hal
yang mendatangkan kebaikan bagi manusia. Satu hal yang telah diatur dan
dibimbingkan oleh agama kita adalah menjenguk saudara kita ketika jatuh
sakit. Begitu pentingnya permasalahan ini hingga dibakukan dalam Islam
sebagai salah satu hak muslim atas muslim yang lain, sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam.</em><br />
Salah satunya adalah hadits Abu Hurairah<em> radhiyallahu ‘anhu </em>bahwa Rasulullah<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>bersabda:<br />
<div dir="rtl">
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ: مَا هُنَّ
يَا رَسُولَ اللهِ؟، قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا
دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ
فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ
فَاتَّبِعْهُ</div>
<em>“Hak seorang muslim atas muslim yang lainnya ada enam.” Kemudian
ditanyakan, “Apa saja itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika
bertemu ucapkanlah salam, jika diundang maka penuhilah, jika dimintai
nasehat maka berilah nasehat, jika bersin lalu memuji Allah maka
doakanlah, jika sakit maka jenguklah dan jika meninggal maka ikutilah
penguburannya.”</em> <strong>HR. Muslim </strong>no 2162<br />
Merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi orang yang sakit jika ada
saudara atau kerabat yang menjenguknya. Dengan itu akan akan semakin
erat dan kuatlah tali persaudaraan antar mereka.<br />
<strong>Hukum Menjenguk Orang Sakit</strong><br />
Para pembaca <em>rahimakumullah</em>, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menjenguk orang sakit. Namun <em>Allahu a’lam</em> yang lebih kami pilih adalah <em>fardhu kifayah</em>.
Artinya jika ada yang melaksanakannya maka gugur kewajiban bagi yang
lain, namun jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya dalam
kondisi mengetahui ada yang sakit maka semuanya berdosa. Namun hal ini
bisa menjadi <em>fardhu ‘ain</em> jika yang sakit adalah seorang kerabat
atau keluarga dekat karena menjenguknya termasuk bagian dari
silaturahmi, sedangkan silaturahmi itu hukumnya wajib.<br />
Hal penting yang perlu diperhatikan pula bahwa yang berhak dijenguk
itu hanyalah orang sakit yang terbaring di rumahnya dan tidak bisa
beraktivitas. Adapun orang-orang yang sakitnya ringan sehingga bisa
keluar rumah dan beraktivitas maka tidak termasuk yang berhak dijenguk,
namun tidak mengapa bagi kita untuk menanyakan keadaannya. (Lihat <strong>Syarah Riyadhus Shalihin</strong> dan <strong>Fathu Dzil Jalali wal Ikram</strong> karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin<em> rahimahullah)</em><br />
<br />
<strong>Keutamaan Menjenguk Orang Sakit</strong><br />
Para pembaca <em>rahimakumullah</em>, Rasulullah<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>telah menyebutkan beberapa keutamaan menjenguk orang sakit. Di antaranya adalah:<br />
1. Sabda beliau<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam,</em><br />
<div dir="rtl">
مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَزَلْ فِيْ خُرْفَةِ الْجَنَّةِ، قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: جَنَاهَا</div>
<em>“Barang siapa menjenguk saudaranya yang sakit maka dia senantiasa berada di </em>Khurfatul jannah<em> sampai dia pulang.”</em> Lalu ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa <em>khurfatul jannah</em> itu? Beliau<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>bersabda, <em>“Memetik buah-buahan di surga.”</em> <strong>HR. Muslim</strong> no. 2568 dari sahabat Tsauban<em> radhiyallahu ‘anhu.</em><br />
2. Sabda beliau<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam,</em><br />
<div dir="rtl">
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُودُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلَّا صَلَّى
عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ
عَشِيَّةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى
يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيفٌ فِي الجَنَّةِ</div>
<em>“Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain pada pagi
hari melainkan 70.000 malaikat akan bershalawat (mendoakan ampunan)
baginya sampai sore hari. Jika menjenguk pada sore hari maka 70.000
malaikat akan bershalawat baginya sampai pagi hari. Dia pun berhak untuk
memiliki buah-buahan yang dipetik di surga.”</em> <strong>HR. at-Tirmidzi</strong> dari sahabat Ali bin Abi Thalib<em> radhiyallahu ‘anhu.</em><br />
<br />
<strong>Adab Menjenguk Orang Sakit</strong><br />
Ada beberapa adab dan bimbingan bagi seseorang yang menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Di antaranya adalah:<br />
1. Hendaknya meniatkan amalan tersebut karena Allah<em> subhanahu wa ta’ala </em>dan meneladani baginda Rasul<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam,</em> bukan untuk tujuan dunia.<br />
2. Berharap agar amalan yang dilakukannya itu bisa memberikan kebaikan dan kebahagiaan bagi saudaranya yang sedang sakit.<br />
3. Alangkah baiknya jika kesempatan menjenguk dimanfaatkan untuk
menghibur si sakit dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti mengingatkan
untuk bersabar, bertaubat, beristighfar, dan yang semisal dengan itu.
Jangan menyampaikan hal-hal yang dapat menambah beban si sakit.<br />
4. Jangan lupa mendoakannya, di antara doa yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>adalah sebagai berikut:<strong></strong><br />
<div dir="rtl">
لاَ بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ</div>
<em>“Tidak mengapa, insya Allah (sakit ini) sebagai pembersih.” </em><strong>HR. al-Bukhari</strong> dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas<em> radhiyallahu ‘anhuma.</em><br />
Dalam hadits yang lain, Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>bersabda, <em>“Barangsiapa menjenguk orang sakit yang belum datang ajalnya lalu dia mengucapkan doa, </em><br />
<div dir="rtl">
أَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ</div>
<em>“Aku meminta kepada Allah yang Maha Kuasa, Rabb al-’Arsy yang agung, agar memberikan kesembuhan kepadamu.” </em><br />
<em>Sebanyak 7 kali, niscaya Allah akan memberikan kesembuhan kepadanya.”</em> <strong>HR. at-Tirmidzi</strong> dan <strong>Abu Dawud</strong> dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas<em> radhiyallahu ‘anhuma.</em><br />
5. Tidak mengapa membawa sesuatu untuk dihadiahkan kepada si sakit,
karena dengan hadiah akan semakin erat tali persaudaraan dan kasih
sayang. Rasulullah<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>bersabda:<br />
<div dir="rtl">
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا</div>
<em>“Saling memberikan hadiahlah di antara kalian niscaya kalian akan saling mencintai.”</em> <strong>HR. al-Bukhari</strong> dalam <strong>al-Adabul Mufrad</strong> dari sahabat Abu Hurairah<em> radhiyallahu ‘anhu.</em><br />
6. Hendaknya tidak berkunjung atau menjenguk di waktu-waktu yang memberatkan si sakit, seperti waktu-waktu tidur atau istirahat.<br />
7. Meruqyah si sakit dengan membacakan kepadanya bacaan-bacaan yang
disyariatkan yaitu ayat-ayat Al-Qur`an atau doa-doa yang tidak
mengandung kesyirikan.<br />
Allah<em> subhanahu wa ta’ala </em>berfirman:<br />
<div dir="rtl">
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ</div>
<em>“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” </em>(<strong>Al-Isra`: 82</strong>)<br />
Al-Qur`an itu mengandung obat dan rahmat. Namun kandungan tersebut
tidak bermanfaat bagi setiap orang dan hanya bermanfaat bagi orang yang
beriman dengannya, yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya.
Adapun orang-orang yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak
beramal dengannya, maka Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka
kecuali kerugian. (Lihat <strong>Tafsir as-Sa’di</strong>)<br />
Rasulullah<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>pernah menjenguk sebagian keluarganya yang sakit lalu beliau mengusap si sakit dengan tangan kanannya sambil membaca:<br />
<div dir="rtl">
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ
الشَّافِيْ لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاءُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا</div>
<em>“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini.
Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak
ada obat (yang menyembuhkan) kecuali obatmu, kesembuhan yang tidak
meninggalkan penyakit.”</em> <strong>Muttafaqun ‘alaih</strong><br />
8. Jika yang menjenguk itu dari kalangan orang yang berilmu hendaknya
mengajarkan hal-hal penting yang belum diketahui si sakit, seperti tata
cara bersuci dan shalat bagi orang sakit dan yang lainnya.<br />
9. Lihatlah bagaimana keadaan si sakit. Jika si sakit merasa senang
dengan berlama-lama di rumahnya maka hendaknya tidak segera pulang demi
memberikan kebahagiaan kepada si sakit. Namun jika si sakit merasa
gelisah dan kurang nyaman berlama-lama dengannya maka hendaknya tidak
berlama-lama di rumahnya dan bersegera meminta izin pulang.<br />
10. Jika memang memungkinkan, boleh bagi si penjenguk meminta kepada
si sakit agar mendoakannya dengan kebaikan karena keadaan sakit
merupakan salah satu momen dikabulkannya doa.<br />
11. Jika ternyata si sakit berada di tempat pengobatan umum, seperti
rumah sakit dan semisalnya maka hendaknya memperhatikan kerapian diri
serta memperhatikan tata tertib dan aturan di tempat tersebut. Seperti
berpakaian yang rapi dan sopan, melihat jadwal waktu-waktu berkunjung,
tidak membuat gangguan bagi si sakit dan pasien yang lain semisal
merokok, berkata kotor, gaduh, tidak sopan, dan yang lainnya.<br />
12. Jangan lupa, ketika sedang menjenguk si sakit untuk banyak bersyukur kepada Allah<em> subhanahu wa ta’ala </em>yang senantiasa memberikan nikmat kesehatan kepadanya. Karena seseorang itu seringkali menyadari kadar nikmat Allah<em> subhanahu wa ta’ala </em>ketika melihat orang lain yang kehilangan nikmat tersebut, baik karena dicabut oleh Allah<em> subhanahu wa ta’ala </em>atau belum dikaruniai nikmat tersebut atau ketika dirinya sendiri telah kehilangan nikmat tersebut.<br />
<br />
Nasehat untuk Keluarga si Sakit<br />
Perlu saya nasehatkan kepada keluarga dan kerabat si sakit untuk
senantiasa bersabar atas ujian yang menimpanya. Hendaknya senantiasa
menjadikan sunnah Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>sebagai
bimbingan ketika melayani si sakit. Termasuk ketika mengobati si sakit
hendaklah menempuh cara-cara yang syar’i dan meninggalkan cara-cara yang
tidak syar’i seperti membawanya ke dukun atau paranormal.<br />
Begitu juga ketika diketahui ada tanda-tanda ajal akan menjemputnya
maka hendaknya menalqinkan atau memerintahkannya untuk mengucapkan <em>Laa ilaaha illallah. </em>Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam,</em> <em>“Talqinkanlah
kepada orang yang menjelang kematiannya kalimat Laa ilaaha illallah.
Barang siapa yang akhir ucapannya Laa ilaaha illallah maka dia akan
masuk surga…”</em> <strong>HR. Muslim</strong><br />
<em>Wallahu a’lam bish shawab.</em><br />
Penulis: Ustadz Abdullah Imam <em>hafizhahullahu ta’ala</em><br />
Sumber : <a href="http://www.mahadassalafy.net/2012/11/ketika-saudara-kita-sakit.html#more-665">Ma’had As-Salafy Jember</a><b><i><br /> (4369) views</i></b><br />
</div>
</div>
MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-34305109266326358902013-12-08T23:31:00.001-08:002013-12-08T23:31:08.041-08:00<h1 class="post-title">
Sunnah-sunnah Yang Terlupakan (bagian Ketiga), Buletin Islam Al Wala Wal Bara ,Bandung</h1>
19. Do'a Sesudah Tasyahhud Akhir Sebelum Salam<br />Sesudah tasyahhud akhir sebelum salam terdapat do'a-do'a yang dianjurkan untuk kita baca. Di antaranya:<br />(1). Rasulullah shallallahu<span id="more-1120"></span>
'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian selesai
dari tasyahhud akhir, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat
perkara, yaitu mengucapkan:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ
فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ<br />“Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari
fitnahnya (cobaan) hidup dan mati, dan dari kejahatan fitnahnya Al-Masih
Ad-Dajjal. ” (HR. Al-Bukhariy 2/102 no. 1377 dan Muslim 1/412 no. 588
dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, lafazh ini milik Muslim)<br />
19. Do'a Sesudah Tasyahhud Akhir Sebelum Salam<br />Sesudah tasyahhud akhir sebelum salam terdapat do'a-do'a yang dianjurkan untuk kita baca. Di antaranya:<br />(1).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah
seorang dari kalian selesai dari tasyahhud akhir, maka mintalah
perlindungan kepada Allah dari empat perkara, yaitu mengucapkan:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ
فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ<br />“Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari
fitnahnya (cobaan) hidup dan mati, dan dari kejahatan fitnahnya Al-Masih
Ad-Dajjal. ” (HR. Al-Bukhariy 2/102 no. 1377 dan Muslim 1/412 no. 588
dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, lafazh ini milik Muslim)<br />Bahkan
sebagian 'ulama mewajibkan membaca do'a ini (do'a minta perlindungan
dari empat perkara: neraka jahannam; siksa kubur; fitnah hidup dan mati;
dan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal) setelah tasyahhud akhir sebelum salam.
Mereka berdalil dengan hadits ini di mana Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam memerintahkannya. (Lihat Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu
'alaihi wa sallam hal. 182-183)<br />Al-Imam Muslim berkata, “Telah sampai
(khabar) kepadaku bahwasanya Thawus (muridnya Ibnu 'Abbas radhiyallahu
'anhu) berkata kepada anaknya, “Apakah engkau membaca do'a ini di dalam
shalatmu?” Dia menjawab, “Tidak. ” Maka berkatalah bapaknya, “Ulangilah
shalatmu!” (Lihat Shahih Muslim no. 590)<br />Untuk itu janganlah kita meninggalkan do'a ini di dalam shalat kita yakni setelah selesai dari tasyahhud akhir. <br />(2). Dari 'A`isyah radhiyallaahu 'anhaa bahwasanya Rasulullah di dalam shalatnya membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ
بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ
الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ<br />“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnahnya
Al-Masih Ad-Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnahnya hidup
dan mati. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (berbuat)
dosa dan (terlilit) hutang. “<br />Berkatalah 'A`isyah, “Maka ada
seseorang yang berkata, “Betapa banyaknya (seringnya) engkau meminta
perlindungan dari hutang, wahai Rasulullah!” Maka Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, ketika dia berbicara maka dia
berdusta dan ketika berjanji maka dia menyelisihi. ” (HR. Al-Bukhariy
1/202 no. 832 dan Muslim 1/412 no. 589)<br />Hal ini dikarenakan ketika
orang yang mempunyai hutang ditagih, dia mengatakan, “Nanti akan saya
bayar besok. ” Ketika besoknya didatangi dia mengatakan, “Maaf, saya
belum punya uang, pekan depan saja. “, dan seterusnya. <br />(3). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا، وَلاَ
يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ
عِنْدِكَ وَارْحَمْنِيْ، إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ<br />“Ya
Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan
kezhaliman yang banyak. Dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali
Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, serta rahmatilah
aku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ”
(HR. Al-Bukhariy 8/168 dan Muslim 4/2078)<br />(4). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ، وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا
أَسْرَرْتُ، وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ
بِهِ مِنِّيْ. أَنْتَ الْمُقَدِّمُ، وَأَنْتَ الْمُأَخِّرُ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنْتَ<br />“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang telah aku lakukan
dan yang belum aku lakukan, yang aku sembunyikan dan yang aku
tampakkan, juga yang aku melampaui batas dan apa-apa yang Engkau ketahui
dariku. Engkaulah Yang Mendahulukan dan Engkaulah Yang Mengakhirkan.
Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau. ” (HR. Muslim 1/534)<br />(5). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ<br />“Ya
Allah, tolonglah aku agar senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu
dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya. ” (HR. Abu Dawud 2/86,
An-Nasa`iy 3/53 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam
Shahih Abu Dawud 1/284)<br />(6). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ
الْجُبْنِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمْرِ،
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ<br />“Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, dan aku
berlindung kepada-Mu dari sifat penakut/pengecut. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang paling rendah. Dan aku
berlindung kepada-Mu dari fitnahnya dunia dan siksa kubur. ” (HR.
Al-Bukhariy bersama Fathul Baarii 6/35)<br />(7). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ<br />“Ya
Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu surga dan aku berlindung
kepada-Mu dari neraka. ” (HR. Abu Dawud, lihat Shahih Ibnu Majah 2/328)<br />(8). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ يَا أَللهُ بِأَنَّكَ الْوَاحِدُ
الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلْمْ يَكُنْ
لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّكَ أَنْتَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ<br />“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu
Ya Allah, bahwasanya Engkaulah Yang Esa lagi Tunggal, Tempat
bergantung. Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak
ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. (Aku mohon) agar Engkau
mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. ” (HR. An-Nasa`iy dengan lafazhnya 3/52, Ahmad 4/338 dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih An-Nasa`iy
1/280)<br />(9). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، الَمَنَّانُ، يَا بَدِيْعَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ، يَا حَيُّ
يَا قَيُّوْمُ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ
النَّارِ<br />“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwasanya
segala puji hanya untuk-Mu, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Engkau satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Mu. (Engkau) Yang Maha
Pemberi anugerah. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Dzat Yang
Memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Wahai Yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha
Berdiri Sendiri, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu surga dan aku
berlindung kepada-Mu dari neraka. ” (HR. Ash-Haabus Sunan, lihat Shahih
Ibnu Majah 2/329)<br />(10). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ
وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ<br />“Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, bahwasanya aku bersaksi bahwa
Engkau, Engkaulah Allah, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau.
Yang Esa, Tempat bergantung, yang tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. ” (HR.
Abu Dawud 2/62, At-Tirmidziy 5/515, Ibnu Majah 2/1267 dan Ahmad 5/360,
lihat Shahih At-Tirmidziy 3/163 dan Shahih Ibnu Majah 2/329)<br />(11). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ بَعْدُ<br />“Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa-apa
yang aku lakukan dan dari kejelekan apa-apa yang belum aku lakukan. ”
(HR. An-Nasa`iy dengan sanad shahih, Ibnu Abi 'Ashim di dalam As-Sunnah
370 dengan tahqiq Asy-Syaikh Al-Albaniy)<br />(12). Membaca do'a:<br />
اللَّهُمَّ حَاسِبْنِيْ حِسَابًا يَسِيْرًا<br />“Ya Allah, hisablah aku
dengan hisab yang ringan. ” (HR. Ahmad, Al-Hakim dan beliau
menshahihkannya serta disepakati oleh Adz-Dzahabiy, lihat Shifatu
Shalaatin Nabiy shallallahu 'alaihi wa sallam hal. 184)<br />Bacalah
do'a-do'a ini semampu kita. Karena di antara waktu yang mustajabah
adalah berdo'a setelah tasyahhud akhir sebelum salam. Do'a-do'a ini pun
bisa dibaca pada saat sujud. (Lihat Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu
'alaihi wa sallam hal. 183)<br />
20. Do'a Melunasi Hutang<br />Apabila kita mempunyai hutang apalagi hutang yang sifatnya melilit, maka hendaklah kita memperbanyak membaca do'a-do'a berikut:<br />
اللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ<br />“Ya
Allah, cukupkanlah aku dengan apa-apa yang Engkau halalkan dari apa-apa
yang Engkau haramkan. Dan kayakanlah (cukupkanlah) aku dengan
karunia-Mu dari segala sesuatu selain Engkau. ” (HR. At-Tirmidziy 5/560,
lihat Shahih At-Tirmidziy 3/180)<br />
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ
وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ
وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ<br />“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari keresahan dan kesedihan, kelemahan dan sikap malas,
kekikiran dan sikap penakut serta dililit hutang dan dikalahkan lawan. ”
(HR. Al-Bukhariy 7/158)<br />
21. Do'a ketika Takut kepada Suatu Kaum<br />Apabila kita merasa takut
akan kejahatan suatu kaum atau orang tertentu seperti para preman dan
yang sejenisnya, maka hendaklah kita membaca:<br />
اللَّهُمَّ اكْفِنِيْهِمْ بِمَا شِئْتَ<br />“Ya Allah, cukupkanlah aku dari (gangguan) mereka dengan apa yang Engkau kehendaki. ” (HR. Muslim 4/2300)<br />
22. Do'a untuk Orang Sakit ketika Mengunjunginya<br />Ketika kita mengunjungi orang yang sakit, hendaklah membaca:<br />
لاَ بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ<br />“Tidak apa-apa, (sakit ini) sebagai pembersih (dosa-dosa), insya Allah. ” (HR. Al-Bukhariy bersama Fathul Baarii 10/118)<br />
أَسْأَلُ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ<br />“Aku
memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabb 'Arsy yang agung, agar
menyembuhkanmu. ” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidziy, lihat Shahih
At-Tirmidziy 2/210 dan Shahiihul Jaami' 5/180)<br />Tentang keutamaan do'a
ini, dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidak
ada seorang hamba yang muslim yang menjenguk orang yang sakit yang belum
datang ajalnya, lalu dia mengucapkan do'a ini sebanyak tujuh kali
kecuali dia akan sembuh. ” (Idem)<br />
Inilah beberapa sunnah berupa do'a-do'a yang selayaknya untuk dibaca
dan diamalkan. Masih banyak do'a ataupun sunnah-sunnah lainnya. Insya
Allah akan dibahas pada edisi-edisi mendatang. <br />Semoga Allah selalu
membimbing kita ke jalan yang lurus dan memberikan taufiq-Nya kepada
kita semua sehingga bisa melaksanakan apa-apa yang dicintai dan
diridhai-Nya. Aamiin. Wallaahu A'lam. <br />
Maraaji': Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu 'alaihi wa sallam karya
Asy-Syaikh Al-Albaniy, Hishnul Muslim min Adzkaaril Kitaab was Sunnah
karya Asy-Syaikh Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthaniy, dan Shahih
Muslim. <br />
(www. fdawj. co. nr) <i>sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Buletin Islam Al Wala Wal Bara ,Bandung</i>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-10910000471908207052011-09-01T17:19:00.001-07:002011-09-01T17:19:48.195-07:00Shalat Tarawih 11 Rakaat, Haram?<h4>Shalat Tarawih 11 Rakaat, Haram?</h4><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Assalamu'alaikum wr. wb.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Pak ustadz yang dirahmati Alloh dan semoga selalu dalam lindungan Alloh.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Untuk kesekian kalinya pertanyaan ini ditanyakan dalam forum ini. Ceritanya saya shalat tarawih hari ke-3 di masjid yang shalat tarawihnya 21 rakaat. Sebelum witir imam berdiri dan memberikan kultum, di dalam kultum tersebut dikatakan bahwa haram hukumnya shalat tarawih 11 rakaat, karena di zaman Rosululloh SAW sampai <i>khulafa rasyidin</i> shalat tarawihnya dua-dua dikatakan (matsna-matsna). </span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Adapun shalat tarawih 11 rakaat berasal dari Ibnu Taimiyah dan dikatakannya bahwa Ibnu Taimiyah itu rada stres di kalangan ulama katanya pak ustadz. Pada saat imam mengatakan haram hukumnya shalat tarawih 11 rakaat hati saya panas sekali ingin sekali saya bicara. Kenapa saya panas karena dari kecil saya shalat tarawih di kampung saya 11 rakaat tiba-tiba ada yang mengatakan demikian. Bagaimana menyikapi hal demikian? Saya mohon pak ustadz memberikan nash-nash atau hadits-hadits yang membuat saya paham mungkin karena saya yang awam tidak dapat menjangkau wilayah syariah atau fiqih. Sebelumnya saya ucapkan terim kasih.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Wassalamu'alailkum wr. wb.</span><br />
<h4><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">jawaban</span></h4><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;"><i>Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh, </i><br />
Sebaiknya anda tidak perlu stres mendengar hal begituan. Sebab ciri khas ilmu fiqih adalah perbedaan pandangan. Siapa yang tidak bisa menerima perbedaan pandangan, maka tidak bisa menjadi ahli fiqih. Demikian juga dalam ilmu kritik hadits, berbeda pandangan dalam menilai derajat suatu hadits justru telah menjadi 'menu' sehari-hari.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Sikap tidak bisa menerima pandangan orang lain yang tidak sama dengan diri sendiri sebenarnya justru ciri khas orang awam. Di mana akses mereka terhadap ilmu-ilmu syariah tersumbat. Mungkin sejak kecil belajar fiqihnya satu versi saja. Kemudian 'dicekoki' bahwa hanya yang versi itu saja yang benar. Sedangkan yang tidak seperti itu, semua salah, haram, bid'ah dan kalau berbeda akan menjadi calon penghuni neraka. <i>Nauzu billahi min zalik</i>.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Padahal kalau kita mau telusuri ke puncak keilmuwan disiplin ilmu fiqih, justru para peletak dasar mazhab-madzhab fiqih sangat santun, sopan, serta saling menghormati satu sama lain. Gaya bicara model imam shalat di masjid anda, yang menuduh bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang stres tentu tidak pernah terlontar di kalangan para ulama betulan. Gaya berargumen seperti itu jelas bukan metode para ulama, melainkan gaya preman tukang pukul yang tidak tahu duduk masalah.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Dan sebenarnya perbedaan jumlah rakaat tarawih antara 11 dan 23 bukan terjadi hanya di masa Ibnu Taimiyah, melainkan sudah ada sejak awal masa risalah Islam. Lagi pula bukan pada tempatnya untuk diperselisihkan hingga sampai mencela dan mencaci orang yang pendapat fiqihnya berseberangan.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;"><b>Titik Pangkal Perbedaan</b></span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Ada banyak penyebab mengapa umat Islam berbeda pendapat tentang jumlah rakaat tarawih, teapi yang pasti karena tidak adanya satu pun dalil yang shahih dan sharih yang menyebutkan shalat tarawih.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Seandainya ada satu hadits yang shahih (valid) dan sharih (eksplisit) yang menyebutkan jumlah bilangan rakaat tawarih langsung dari mulut Rasulullah SAW, pasti tidak akan ada perbedaan pendapat.Seperti sepakatnya para ulama dalam menetapkan bilangan rakaat shalat 5 waktu.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Sayangnya, semua dalil yang digunakan oleh para ulama tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih, nyaris semuanya menyimpan potensi multi tafsir dan bias. Kalau pun valid, tapi bisa ditafsirkan bukan dalil yang menunjukkan shalat tarawih. Kalau pun hadits itu bicara shalat tarawih secara eksplisit, tidak ada informasi jumlah bilangan rakaatnya.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Karena itu terjadi <i>confuse</i> di kalangan ulama untuk menetapkan bilangan rakaat tarawih. Tetapi wajar juga bila melahirkan perbedaan hasil akhir dalam menarik kesimpulan.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Sebagian ulama ada yang menyamakan dalil shalat tahajjud (witir) dengan dalil shalat tarawih. Hadits-hadits tentang shalat tahajjud (witir) memang menyebutkan bahwa beliau SAW tidak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat. Baik di dalam Ramadhan maupun di luar Ramadhan.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Bagi mereka, tarawih itu hanya nama atau sebutan saja. Intinya adalah shalat malam, kalau di luar bulan Ramadhan disebut tahajjud. Sedangkan kalau di luar Ramadhan disebut dengan tarawih. Maka mereka mengatakan bahwa jumlah bilangan rakaat shalat tarawih adalah 11 rakaat.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Di sisi lain, ada lagi sebagian dari ulama yang mengatakan dalil shalat tahajjud (witir) berbeda dengan shalat tarawih. Buat mereka, tarawih adalah jenis shalat khusus di luar shalat tahajjud. Mereka menerima hadits-hadits tentang shalat malamnya Rasulullah saw yang tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Tetapi buat mereka, bukan dalil untuk shalat tarawih, melainkan shalat witir atau sering juga dikatakan dengan shalat tahajjud. Sehingga jumlah bilangan rakaat tawarih bukan 11 rakaat.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Untuk shalat tarawih secara khusus yang memang hanya ada di bulan Ramadhan, mereka menggunakan dalil dari apa yang dikerjakan oleh seluruh shahabat nabi SAW di masa Umar bin Khattab, yaitu shalat tarawih seusai shalat Isya' sebanyak 20 rakaat.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Saat itu Umar ra. melihat bahwa umat Islam shalat tarawih sendiri-sendiri, lalu beliau mengatakan bahwa alangkah baiknya bila mereka tidak shalat tarawih sendiri-sendiri, tapi di belakang satu imam yaitu Ubay bin Ka'ab. Dan riwayat yang mereka tetapkan adalah bahwa jumlah rakaat shalat tarawihnya para shahabat saat itu adalah 20 rakaat.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Sedangkan jumlah shalat tarawih yang dilakukan oleh nabi SAW yang hanya 2 malam saja, lalu setelah itu tidak dikerjaan lagi, ternyata semua riwayatnya tidak menyebutkan jumlah rakaatnya. Kalau pun ada, para hali hadits mengatakan bahwa semua hadits yang menyebutkan beliau shalawat tarawih (bukan shalat tahajjud/witir) 11 rakaat semuanya hadits palsu. Termasuk juga yang menyebutkan bahwa beliau shalat tarawih 20 rakaat.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Karena itu kita tidak bisa mengambil kesimpulan dari hadits tentan shalat tarawihnya beliau SAW, karena yang shahih tidak menyebutkan jumlah rakaat. Sedangkan yang menyebutkan jumlah rakaat ternyata hadits yang parah dan tidak bisa diterima.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Satu-satunya yang bisa dijadikan rujukan adalah jumlah rakaat para shahabat ketika shalat tarawih di zaman Umar bin Al-Khattab ra. Dan ternyata jumlahnya 20 rakaat. Logikanya, mana mungkin seluruh shahabat mengarang sendiri untuk shalat dengan 20 rakaat? Pastilah mereka melakukannya karena dahulu sempat shalat tarawih 20 rakaat bersama nabi SAW. Sayangnya, hadits tentang shalat tarawihnya nabi SAW dulu sama sekali tidak menyebutkan jumlah rakaat.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Namun ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa saat itu Ubay bin Kaab menjadi imam shalat tarawih untuk para shahabat bukan 20 rakaat, tapi 11 rakaat. Mana yang benar dari kedua riwayat itu, semua terpulang kepada ijtihad mereka dalam melakukan kritik hadits.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;">Sebab sangat dimungkinkan adanya satu hadits dengan beberapa penilaian oleh beberapa ulama yang berbeda. Yang satu bilang shahih, yang lain bila tidak shahih. Dan fenomena ini adalah sesuatu yang sangat bisa diterima di dalam dunia ilmu-ilmu keIslaman.</span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;"><i>Wallahua'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh,</i></span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: x-small;"><b>Ahmad Sarwat, Lc.</b></span><br />
<div align="center"><span style="font-family: verdana; font-size: x-small;"><b><a href="http://kampussyariah.com/webx/sn4.php">kirim pertanyaan</a><br />
<span style="color: red; font-family: verdana; font-size: xx-small;"><a href="http://www.ustsarwat.com/web/syariah.php">index semua</a></span></b><span style="color: red; font-family: verdana; font-size: xx-small;"> | <a href="http://www.ustsarwat.com/web/syariah.php?k=shl"><b>index Shalat</b></a></span></span></div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-76517042185339828252011-09-01T17:17:00.000-07:002011-09-01T17:29:44.906-07:00<table background="images/detik_08.jpg" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" style="width: 1000px;"><tbody>
<tr><td align="left" valign="top" width="200"><br />
</td> <td valign="top" width="535"><table border="0" cellpadding="4" cellspacing="2" style="width: 535px;"><tbody>
<tr> <td valign="top" width="100%"><br />
</td></tr>
</tbody></table></td></tr>
</tbody></table>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-26766988498923566362011-09-01T16:42:00.000-07:002011-09-01T16:42:49.393-07:00Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih<h1 class="headline_artikel">Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih</h1><span class="left sub_text_artikel"><a href="http://www.kompasiana.com/posts/type/raport/">REP</a> | 02 August 2011 | 01:19</span> <span class="right sub_text_artikel"> <img alt="" class="mr_5" src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon01.jpg" style="vertical-align: middle;" />1196 <img alt="" class="mr_5 ml_5" src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon02.jpg" style="vertical-align: middle;" />14 <img alt="" class="mr_5 ml_5" src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/images3.5/icon03.jpg" style="vertical-align: middle;" /> <span class="coda_bubble"> <span class="bubble_html" style="display: none;"><img src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/u/stats/chart_383247_1636250477.png" /></span><table class="popup" style="display: none; left: -33px; opacity: 0; top: -120px;"><tbody>
<tr><td class="corner topleft"></td><td class="top"></td><td class="corner topright"></td></tr>
<tr><td class="left"></td><td class="bubble_content"><img src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/u/stats/chart_383247_1636250477.png" /></td><td class="right"></td></tr>
<tr><td class="corner bottomleft"></td><td class="bottom"><img alt="" height="29" src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/plugins3.5/codabubble/images/skins/classic/bubble-tail2.png" style="display: block;" width="30" /></td><td class="corner bottomright"></td></tr>
</tbody></table><span class="trigger">1 dari 2 Kompasianer menilai menarik</span> </span> </span> <hr /> <br />
<div class="MsoNormal"><img alt="1312222691511407673" class="alignnone size-full wp-image-126420" height="336" src="http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2011/08/1312222691511407673.jpg" title="1312222691511407673" width="448" /> <strong><span> </span></strong></div><div class="MsoNormal"><strong><span>Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih</span></strong></div><div class="MsoNormal">Oleh: A. Badruttamam Hasan<sup>*)</sup></div><div class="MsoNormal"><span> Bulan Ramadhan adalah bulan termulia; bulan turunnya Al-Qur`an untuk pertama kali, bulan penuh ampunan, rahmah serta ridho Allah Subhanahu wa Ta`ala, bulan yang penuh dengan momen-momen terkabulnya doa, di bulan ini terdapat lailatul qadar, yakni suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.</span><span> </span><span><br />
Bulan Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi umat Islam untuk memperbanyak pahala dengan melakukan berbagai macam amal ibadah.<br />
Diantara ibadah yang mendapat penekanan khusus pada bulan Ramadhan adalah qiyam Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:</span><span> </span><span><br />
</span><span lang="AR-SA">مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ</span><span><br />
“Barangsiapa melaksanakan qiyam pada (malam) bulan Ramadhan karena meyakini keutamaannya dan karena mencari pahala (bukan karena tujuan pamer atau sesamanya), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (Muttafaq `alaih).</span><span> </span><span><br />
Qiyam Ramadhan yang dimaksud pada hadits di atas bisa dilaksanakan dengan shalat Tarawih atau ibadah lainnya(1).<br />
<a href="" name="more"></a><br />
</span><strong><span>Kontroversi Jumlah Rakaat Shalat Tarawih</span></strong><span><br />
Perdebatan seputar jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal baru dalam kajian hukum Islam. Perdebatan itu adalah perdebatan klasik dan telah ada sejak masa para ulama salaf. Imam Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat shalat qiyam Ramadhan yang beliau kerjakan. Beliau menjawab: “Ada sekitar empat puluh pendapat mengenai masalah ini.” Imam al-`Aini menyebutkan sebelas pendapat ulama seputar jumlah raka`at shalat Tarawih(2)</span><span>. </span><span><br />
Walaupun terjadi perbedaan semacam itu, perlu diketahui, shalat Tarawih boleh untuk dilakukan hanya dua rakaat saja atau berpuluh-puluh rakaat(3). Syekh Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa yang menduga bahwa sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki bilangan tertentu yang ditentukan oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak boleh ditambah atau dikurangi, maka sungguh dia telah salah.”(4) Para ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama(5). Kebanyakan ulama memilih dua puluh rakaat.(6) Namun ada juga beberapa pendapat yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain(7). Ibnu Taimiyah menganggap semuanya baik dan boleh dikerjakan(8).</span><span> </span><span><br />
Perbedaan ini muncul karena di dalam hadits-hadits yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat Tarawih itu selama dua atau tiga malam saja dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada awal masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu `anhu, tidak ada yang melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam di masjid(9).</span></div><div class="MsoNormal"><span> </span><span><br />
</span><strong><span>Dalil Tarawih 20 Rakaat</span></strong><span><br />
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.</span><span> </span><span><br />
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.</span><span> </span><span><br />
1. Hadits Mauquf<br />
</span><span lang="AR-SA">وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ</span><span>…<br />
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.</span><span> </span><span><br />
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).<br />
Di dalam hadits yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.</span><span> </span><span><br />
</span><span lang="AR-SA">عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً</span><span>.<br />
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”<br />
Hadits kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)<br />
Menurut disiplin ilmu hadits, hadits ini di sebut hadits mauquf (Hadits yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadits ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang </span><em>(laa yuqolu min qibal al-ra`yi)</em><span>.(11)<br />
2. Ijma` para Shahabat Nabi.</span><span> </span><span><br />
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)<br />
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat(13).</span><span> </span><span><br />
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:<br />
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)</span><span> </span><span><br />
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping <em>dha`if,</em> kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.</span></div><div class="MsoNormal"><span><br />
</span><strong><span>Dalil Tarawih 8 Rakaat</span></strong><span><br />
Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat(15).<br />
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.</span><span> </span><span><br />
1. Hadits Ubay bin Ka`ab :<br />
</span><span lang="AR-SA">أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء - يعني في رمضان - قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا</span><span>.<br />
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).<br />
Hadits ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah haditsnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (haditsnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadits ini juga terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (<em>laisa bi al-qawi</em>)(16).<br />
2. Hadits Jabir :<br />
</span><span lang="AR-SA">حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر</span><span>.<br />
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani)(17).</span><span> </span><span><br />
Hadits ini kualitasnya sama dengan Hadits Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.(18)<br />
3. Hadits Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :</span><span> </span><span><br />
</span><span lang="AR-SA">مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً</span><span><br />
“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih).<br />
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadits ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.</span><span> </span><span><br />
Dari segi sanad, hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadits ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.</span><span> </span><span><br />
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat;</span><span> </span></div><div class="MsoNormal"><span> a. Pemotongan Hadits<br />
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadits ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadits ini secara sempurna adalah sebagai berikut;</span></div><div class="MsoNormal"><span><br />
</span><span lang="AR-SA">عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي</span><span>.</span></div><div class="MsoNormal"><span>Dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”</span><span> </span><span><br />
Pemotongan hadits boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadits di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadits ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadits ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam(20).</span><span> </span></div><div class="MsoNormal"><span><br />
b. Kesalahan dalam Memahami Maksud Hadits.<br />
Dalam hadits di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadits ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.<br />
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.<br />
</span><span lang="AR-SA">عن عائشة - رضي الله عنها - : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر</span><span> ».</span><span> </span><span><br />
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari)(21).</span></div>c. Pemenggalan Haditst.<br />
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadits di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadits yang merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir(22).<br />
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?<br />
d. Inkonsisten dalam Mengamalkan Haditst<br />
Dalam hadits di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadits di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadits tersebut pada bulan Ramadhan saja.<span> </span> <br />
<div class="MsoNormal"><span><br />
e. Kontradiksi dengan Pemahaman para Shahabat Nabi<br />
Pemenggalan hadits seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadits disebutkan:</span><span> </span><span><br />
</span><span lang="AR-SA">عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي</span><span><br />
“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim)(24).</span><span> </span><span><br />
Dalam hadits yang lain disebutkan :</span><span> </span><span><br />
</span><span lang="AR-SA">اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ</span><span><br />
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain)(25).<br />
Dalam hadits yang lain juga disebutkan :</span><span> </span><span><br />
</span><span lang="AR-SA">إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه</span><span><br />
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain)(26).</span></div>f. Kerancuan Linguistik<br />
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27) Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan(28).<br />
<strong><span>Kesimpulan </span></strong><span><br />
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma` shahabat di dukung hadits mauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.</span><span> </span><span><br />
Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?</span><span> </span><span><br />
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui kesalahannya(29).<br />
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat dengan khusyu`, khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.</span><span> </span><span><br />
</span><em><span>WA ALLAH A`LAM BI AL-SHAWAB</span></em><span>.</span><span> </span><br />
<strong><span>Catatan Kaki :</span></strong><span><br />
(1) Badrudin al-`Aini, `Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., XI/124. Ibnu Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Cairo : Dar al-Rayyan li al-Turats, 1407 H., IV/296.</span><span> </span><span><br />
(2) Badrudin al-`Aini, op.cit., XI/126-127. `Ala`uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al- Dimasyqi, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah min Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Alexanderia : Dar al-Iman, 2005 M, hal. 315-316. `Ala`uddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al- Mardawi, al-Inshaf fi Ma`rifah al-Rajih min al-Khilaf, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, 1419 H, II/128.</span><span> </span><span><br />
(3) Menurut madzhab Syafi`i, shalat Tarawih boleh dikerjakan mulai dari dua rakaat dan maksimalnya adalah dua puluh rakaat. Lihat antara lain: Said bin Muhammad Ba`asyan, Busyra al-Karim, Jeddah : Dar al-Minhaj, 1429 H/2008 M, hal. 316. Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim, Mesir : al-Mathba`ah al-`Amirah al-Syarafiyah, tt., II/469. periksa juga komentar al-Kurdi dan al-Tarmasi pada halaman yang sama.</span><span> </span><span><br />
(4) Mulla Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, hal. 175. Abd. Qadir Isa Diyab, al-Mizan al-`Adil li Tamyiz al-Haq min al-Bathil, Damaskus : Dar al-Taqwa, 1425 H/2005 M, hal. 247. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, al-Mausu`ah al-Yusufiyah, Damaskus : Dar al-Taqwa, tt., hal. 634.</span><span> </span><span><br />
(5) Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 246-248. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, loc.cit. Husain bin Ibrahim al-Maghribi, Qurrah al-`Ain bi Fatawa Ulama` al-Haramain, Maktabah `Arafat, tt., hal.</span><span> </span><span><br />
(6) Ibnu Abdil Bar al-Andalusi, al-Istidzkar, Abu Dabi : Mu`assasah al-Nida`, 1422 H, II/317-319. Muhammad Mahfuzh al- Tarmasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, Mesir : al-Mathba`ah al-`Amirah al-Syarafiyah, tt., II/465-467. Abd. Qadir `Isa Diyab, op.cit., hal. 243-247.<br />
(7) Muhammad Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami` al-Tirmidzi, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., III/438-450.<br />
(8) Ibnu Taimiyah, Majmu` al-Fatawa, Editor : Anwar al-Baz dan Amir al-Jazzar, Dar al-Wafa`, 1426 H/2005 M, XXIII/112-113. Mulla Ali al-Qari, loc.cit.<br />
(9) KH. Ali Mustafa Yaqub, Hadits-hadits Bermasalah, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007, hal. 148.<br />
(10) Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 242. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 632. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 148.<br />
(11) Abdur Rahman al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Beirut : Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M, hal. 121. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 149.</span><span> </span><span><br />
(12) KH. Ali Mustafa Yaqub, loc.cit. menukil dari Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur`an al-Adzim, Riyadh : Dar `Alam al-Kutub, 1418/1998, I/571.<br />
(13) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 155. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 635.<br />
(14) Ibnu Taimiyah, loc.cit.</span><span> </span><span><br />
(15) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 156.<br />
(16) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 139-140. menukil dari al-Dzahabi, Mizan al-I`tidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Beirut : dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311. Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 241.</span><span> </span><span><br />
(17) Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu`jam al-Ausath, Editor : Thariq bin `Awadh, Cairo : Dar al-Haramain, 1415 H, IV/108.</span><span> </span><span><br />
(18) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 140. Abd. Qadir Isa Diyab, loc.cit.<br />
(19) Abdur Rahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 303.</span><span> </span><span><br />
(20) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 143.</span><span> </span><span><br />
(21) Ibid.<br />
(22) Ibid., hal. 146.<br />
(23) Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami` al-Shahih, Editor : Ahmad Muhammad Syakir dkk., Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., II/319.</span><span> </span><span><br />
(24) Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi`i al-Kabir.</span><span> </span><span><br />
(25) Abdur Rahman al-Suyuthi, al-Jami` al-Shaghir. Isma`il bin Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa` wa Muzil al-Ilbas, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., I/160<br />
(26) Abdur Rahman al-Suyuthi, Jami` al-Ahadits. Isma`il bin Muhammad al-Ajluni, op.cit., I/223.<br />
(27) Ibnu Mandzur, Lisan al-`Arab, Beirut : Dar Sadir, tt., II/455. Muhammad Murtadha al-Zabidi, Taj al-`Arus min Jawahir al-Qamus. Ahmad al-Fayyumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir. Majma` al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu`jam al-Wasith, Cairo : Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 1425 H/2004 M, hal. 380. Dr. Muhammad Rowa Qal`ah Jie dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi, Mu`jam Lughah al-Fuqaha`, Amman : Dar al-Nafa`is, tt., I/127. Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Editor : Abd al-Salam Muhammad Harun, Ittihad al-Kitab al-`Arab, 1423 H/2002 M, II/378.</span><span> </span><span><br />
(28) Dr. Ali Gom`ah, al-Bayan lima Yusyghil al-Adzhan, Mi`ah Fatwa li Radd Ahamm Syubah al-Kharij wa Lamm Syaml al-Dakhil, Cairo : Dar al-Moqattham, 2009 M, hal. 272-273. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 137.</span><span> </span><span><br />
(29) Disarikan dari nasehat Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad di dalam kitab beliau, Nasha`ih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, hal. 175.</span> <br />
<div class="MsoNormal">*) Penulis adalah mahasiswa tingkat IV al-Ahgaff Univrsity, Fakultas Syariah, di Tarim-Hadhramaut. Sekarang manjabat sebagai <em>Rais Syuriah </em>PCI NU Yaman. Dan tulisan ini telah dimuat di <a href="http://nuyaman.blogspot.com/2010/08/problematika-bilangan-rakaat-shalat.html">http://nuyaman.blogspot.com/2010/08/problematika-bilangan-rakaat-shalat.html</a>.</div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-67808295402668550722011-04-27T04:26:00.000-07:002011-04-27T04:26:47.006-07:00AMALAN YANG BERMANFAAT BAGI MAYIT<h3 class="pgtitle"><a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html" title="Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit"></a></h3><div style="text-align: center;"><strong>Allah <em>Ta’ala</em> berfirman,</strong></div><div style="text-align: center;"><strong>وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى</strong></div><div style="text-align: center;"><strong>“<em>Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya</em>.”</strong></div><div style="text-align: center;"><strong>(QS. An Najm: 39).</strong></div>Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah <span style="text-decoration: underline;">pendapat yang kurang tepat</span>. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn1">[1]</a><br />
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.<br />
Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.<br />
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.<br />
<span style="color: red;"><strong>Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit</strong></span><br />
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah <em>Ta’ala</em>,<br />
<div style="text-align: center;">وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ</div>“<em>Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang</em>“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.<br />
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn2">[2]</a><br />
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>,<br />
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ<br />
<em>“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn3"><strong>[3]</strong></a> </em>Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.<br />
<span style="color: red;"><strong>Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit</strong></span><br />
Dari Abu Hurairah, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”<br />
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ</div>“<em>Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya</em>.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn4">[4]</a> Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.<br />
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari <em>baitul maal</em>. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn5">[5]</a><br />
<span style="color: red;"><strong>Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit</strong></span><br />
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.<br />
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,<br />
<div style="text-align: center;">مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ</div>“<em>Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.</em> ”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn6">[6]</a> Yang dimaksud “<em>waliyyuhu</em>” adalah ahli waris<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn7">[7]</a>.<br />
<span style="color: red;"><strong>Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya</strong></span><br />
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, dia mengatakan,<br />
<div style="text-align: center;">إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ</div>“<em>Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).</em>” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,<br />
<div style="text-align: center;">اقْضِهِ عَنْهَا</div>“<em>Tunaikanlah nadzar ibumu</em>.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn8">[8]</a><br />
<span style="color: red;"><strong>Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia</strong></span><br />
Allah <em>Ta’ala</em> berfirman,<br />
<div style="text-align: center;">وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى</div>“<em>Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya</em>.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.<br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ</div>“<em>Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.</em>”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn9">[9]</a> Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.<br />
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.<br />
<span style="color: red;"><strong>Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit</strong></span><br />
Dari Abu Hurairah, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ</div>“<em>Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya</em>.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn10">[10]</a><br />
<span style="color: red;"><strong>Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit</strong></span><br />
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn11">[11]</a> Dari Abdullah bin Abbas <em>radhiyallahu ‘anhuma</em>,<br />
<div style="text-align: center;">أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا</div>“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn12">[12]</a><br />
<span style="color: magenta;"><strong>Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit</strong></span><br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”<br />
Beliau <em>rahimahullah</em> menjawab:<br />
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,<br />
<div style="text-align: center;">خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ</div><em>”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”</em><br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ</div>“<em>Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.</em>”<br />
Ibnu Mas’ud mengatakan,<br />
<div style="text-align: center;">مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ</div>“<em>Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.</em>”<br />
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.<br />
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.<br />
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.<br />
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. <em>Wallahu a’lam.” –</em>Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah<em>-<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn13"><strong>[13]</strong></a></em><br />
<em><span style="text-decoration: underline;">Catatan</span></em>: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.<br />
<span style="color: magenta;"><strong>Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?</strong></span><br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka <span style="text-decoration: underline;">pemahaman seperti ini sungguh keliru</span>. Karena Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> sendiri pernah bersabda,<br />
<div style="text-align: center;">إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ</div>“<em>Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. </em>”<br />
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn14">[14]</a><br />
<span style="color: magenta;"><strong>Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan</strong></span><br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,<br />
<div style="text-align: center;">كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ</div>“<em>Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).</em>”<br />
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,<br />
<div style="text-align: center;">اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ</div>“<em>Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.</em>”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn15">[15]</a><br />
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]<br />
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.<br />
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).<br />
Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan <em>ma’tam</em>.”<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftn16">[16]</a><br />
<strong> </strong><br />
Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.<br />
<em>Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.</em><br />
***<br />
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H<br />
Penulis: <a href="http://rumaysho.com/">Muhammad Abduh Tuasikal</a><br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/">www.muslim.or.id (http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html)</a><br />
<hr size="1" /><a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref1">[1]</a> Lihat <em>Taisir Karimir Rahman</em>, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H <a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref2">[2]</a> <em>Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan</em>, hal. 851.<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref3">[3]</a> HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref4">[4]</a> HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref5">[5]</a> <em>Syarh Muslim</em>, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref6">[6]</a> HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref7">[7]</a> Lihat <em>Tawdhihul Ahkam</em>, 3/525<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref8">[8]</a> HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref9">[9]</a> HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini <em>shahih.</em><br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref10">[10]</a> HR. Muslim no. 1631<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref11">[11]</a> <em>Majmu’ Al Fatawa</em>, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref12">[12]</a> HR. Bukhari no. 2756<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref13">[13]</a> <em>Majmu’ Al Fatawa</em>, 24/321-323.<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref14">[14]</a> <em>Majmu’ Al Fatawa</em>, 24/317.<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref15">[15]</a> <em>Majmu’ Al Fatawa</em>, 24/316-317.<br />
<a href="http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html#_ftnref16">[16]</a> <em>Majmu’ Fatawa Ibnu Baz</em>, 13/211, Asy SyamilahMUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-25946104341014884932011-03-09T20:59:00.000-08:002011-03-09T20:59:43.957-08:00Menguak Sesatnya Ahmadiyah(bag.II.Kebohongan Tazkirah)<h2><a href="http://assajjad.wordpress.com/2008/04/30/menguak-sesatnya-ahmadiyahbagiikebohongan-tazkirah/" rel="bookmark" title="Menguak Sesatnya Ahmadiyah(bag.II.Kebohongan Tazkirah)">Menguak Sesatnya Ahmadiyah(bag.II.Kebohongan Tazkirah)</a></h2><div class="postinfo"> ( by assajjad)</div><div class="postinfo"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>Kitab Tazkirah</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kitab tazkirah adalah kitab suci aliran ini namun jarang diangkat atau digunakan untuk pengikutnya yang awam. Kitab ini mengumpulkan/memuat wahyu-wahyu atau ilham dari Allah kepada Mirza. Selain dalam kitab tazkirah, kumpulan wahyu ini sebagian ada dalam kitab yang ditulis Mirza sendiri, yaitu <em>Barahiyn Ahmadiyah</em>.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kitab tazkirah adalah sebagai konsekwensi Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai nabi dan mendapat wahyu dari Tuhan, maka wahyu tersebut harus dibuktikan keberadaannya. Untuk pembuktian keberadaannya maka wahyu itu dibukukan sebagaimana kitab suci yang lainnya, yaitu <strong>Tazkirah</strong>. Ciri-ciri Tazkirah secara umum yaitu:<span> </span>-<span> </span>Tazkirah tidak terbagi dalam surat-surat, tetapi sekaligus satu surat.<span id="more-108"></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span>Tidak ada juga pembagian ayat demi ayat yang jelas.</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span>Tidak semua wahyu itu dalam bahasa Arab, tetapi sebagian kalimat masih ada yang berbahasa Urdu</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span>Apa yang diklaim sebagai wahyu itu diawali dengan mimpi bertemu dengan nabi Muhammad saw, baru kemudian wahyu turun</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span>Disusunnya bukan berdasarkan urutan wahyu yang diklaim, sebab wahyu yang pertama turun adalah <em>“Wassamaai wathooriq”</em> kemudian <em>“Alaisallahu bi kaafa ‘abdih”</em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span>-<span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span>Dan ayat yang diklaim sebagai ayat pertama dan kedua tadi, <strong>justru lupa dimasukkan</strong> dalam kumpulan wahyu ini.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong> </strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>Kebohongan Dalam Kitab Tazkirah</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Bagi umat Islam yang sudah terbiasa membaca Al-Qur’an apalagi mengerti yang artinya akan dengan mudah dan langsung mengatakan bahwa Tazkirah adalah bajakan Al-Qur’an.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Namun tidak semudah itu kita dapat membantahnya. Sebab mereka dapat saja mengelak dan mengatakan mengatakan bahwa di dalam ayat Al-qur’anpun terdapat beberapa ayat serta cerita yang sama dengan kitab suci yang sebelumnya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Mudah sekali untuk menjawab pertanyaan ini, karena meski bermakna sama, apalagi mengenai aqidah, Al-Qur’an tetap berbeda dengan Injil, Taurat dan zabur. Berikut bukti-buktinya:</div><ol style="margin-top: 0pt;" type="1"><li class="MsoNormal">Allah tidak menurunkan wahyu kepada seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. Lihat firman Allah dalam surat Ibrahim (ayat 4) <em>“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.</em> Karena itulah Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, Injil dalam bahasa Siryani, dan Taurat dalam bahasa Ibrani.</li>
<li class="MsoNormal">Kalaulah wahyu turun kepada Mirza yang orang Pakistan/India dan berbahasa Urdu, maka kenapa wahyunya berbahasa Arab?<em></em></li>
<li class="MsoNormal">Jika tetap ingn mengatakan bahwa di Al-Qur’an pun terdapat beberapa kata non arab, maka wajar kalau tazkirah pun terdapat bahasa arab. Dalam Al-qur’an jika ingin tetap mengatakan ada beberapa yang bukan bahasa Arab, meski itu dibantah oleh banyak ulama, akan tetapi itu hanya kata, bukan dalam bentuk kalimat. Yang terjadi di dalam Tazkirah adalah bentuk kalimat berbahasa Arab yang sama persis dengan Al-Qur’an, hanya dipotong dan disambung dengan ayat lain sesuai dengan kebutuhan.<em></em></li>
<li class="MsoNormal">Jika Al-qur’an adalah mu’jizat, lalu setan dan manusia ditantang untuk membuat yang sama dengan Al-Qur’an, ternyata tidak ada yang mampu, maka seharusnya Tazkirah (yang katanya wahyu) juga sama seperti Al-Qur’an, semua orang ditantang untuk membuat yang seperti itu. Tantangan ini akan sangat<em> </em>janggal sekali untuk tazirah. Sebab bagaimana akan menantang kalau Tazkirah itu hanya bajakan dan daur ulang Al-Qur’an?<em></em></li>
<li class="MsoNormal">Jika tetap ngotot juga, maka ketahuilah bahwa setiap ayat Al-Qur’an mempunyai makna dan balaghah yang luar biasa indahnya. Adakah itu dalam Tazkirah? Kalau ada, hal itu karena bajakan dari Al-Qur’an. Semakin lama bahasanya semakin jelek, sebab ayat-ayat Al-Qur’annya sudah banyak yang dirubah-ubah, bukan hanya dipindah tempatkan.<em></em></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Karena kitab tazkirah hanya berisi pengukuhan kenabian Mirza, tidak ada konsep ketuhanan, tidak ada syariat dan hukum, maka hal ini dapat dipastikan karena mereka tidak sanggup untuk membuat konsepnya, meski Cuma sekedar mengaduk-aduk. Untuk itu diputuskanlah (oleh mereka) bahwa syariatnya sama dengan syariat Islam yang asli.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kerancuan ini adalah bentuk dari upaya ingin memadukan konsep yang tanggung, dimana kedudukan Mirza Ghulam Ahmad?</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Symbol;"><span><img alt="*" height="13" src="http://assajjad.wordpress.com/DOCUME%7E1/fajar09/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" width="15" /><span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span>Apakah ingin menjadi Al-Masih?<em></em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Symbol;"><span><img alt="*" height="13" src="http://assajjad.wordpress.com/DOCUME%7E1/fajar09/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" width="15" /><span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span>Apakah ingin menjadi Al-Mahdi?<em></em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Symbol;"><span><img alt="*" height="13" src="http://assajjad.wordpress.com/DOCUME%7E1/fajar09/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" width="15" /><span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span>Atau ingin menjadi Nabi?<em></em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><span style="font-family: Symbol;"><span><img alt="*" height="13" src="http://assajjad.wordpress.com/DOCUME%7E1/fajar09/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" width="15" /><span style="font-family: ""; font-size: 7pt; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></span>Atau ingin menjadi Rasul?<em></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jika ingin menjadi Al-Mahdi, maka tidak ada syariat baru, namun seharusnya tidak jadi nabi dan rasul. Kenapa Mirza mengaku menjadi nabi dan rasul?</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jika ingin menjadi nabi, kenapa masih juga mengaku Al-Mahdi?, kenapa mendapatkan wahyu yang terkumpul dan berisi ajakan seruan kepada orang lain yang merupakan tugas seorang rasul.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Al-Masih dan Al-Mahdi adalah konsep yang berbeda. Al-Masih adalah nabi yang diangkat dan diturunkan kembali (menjelang hari kiamat), bukan orang yang dilahirkan kembali. Mirza adalah orang yang dilahirkan di Qodian, bapak ibunya jelas, kenapa masih tetap ingin mengaku Al-Masih.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jika ingin menjadi Rasul, kenapa masih juga mengaku Al-Masih dan Al-Mahdi. Padahal, selain berbeda, Rasul itu lebih tinggi dari Al-Mahdi, dan Al-Masih bukan orang yang baru dilahirkan. Mirza jelas-jelas mengaku dan diakui oleh jamaahnya lahir pada tahun 1835 M.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Lalu jika sudah mengklaim menjadi nabi, lalu mendapat wahyu yang harus disampaikan kepada orang lain yang juga berarti menjadi rasul, kenapa masih harus mendompleng syariat orang lain?. Tidak mampukah Tuhan, dalam konsep mereka, menurunkan syariat baru, atau mereka tidak mampu melakukannya.<em></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Al-Mahdi dan Al-Masih adalah dua orang yang berbeda, kenapa bisa terdapat dalam satu orang.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kalaulah A-Qur’an sudah sedemikian baik dan indah. Bukankah menjadi aneh Tuhan menurunkan wahyu dengan bahasa yang semakin jelek, tidak tersusun, tidak teratur, dan tidak sistematis. Semua menunjukan Tuhan semakin bodoh. Mungkinkah itu? Kalaulah bukan karena kebohongan dan kebohongan, apakah ini terjadi?. Bukankah Allah sudah menantang kepada siapa saja, jin dan manusia, untuk membuat tandingan Qur’an. Tentu kejanggalan demi kejanggalan jelas terlihat dan akan semakin terlihat ketika kita membaca kitab ini lebih jauh.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Pemotongan ayat dan menggabungkannya dengan surat lain yang tidak semakna, menjadikan Tazkirah seperti itu. <strong>Maka tidak ada kesimpulan yang lebih tepat dari kebohongan. Tazkirah bukan wahyu Allah.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Mirza Ghulam Ahmad haus dengan pujian dan kedudukan. Tidak cukup dihormati sebagai guru (ustadz) lalu orang shaleh, lalu orang alim, masih ingin pujian dan kedudukan yang lebih dari itu. Ingin menjadi Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu, tidak cukup, ingin menjadi Al-Masih, manusia yang pernah diangkat kelangit dan akan diturunkan kembali kedunia menjelang kiamat, inipun tidak cukup. Ingin menjadi nabi, manusia pilihan, tidak cukup juga ingin menjadi rasul yang mendapatkan wahyu.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Rupanya masih tidak cukup penghormatan tersebut, Mirza mengklaim bahwa surga ada di bawah dan di sekitar kuburnya. Ia masih ingin membohongi pengikutnya sekalipun dia sudah mati. Dengan mata gelap dan hati tertutup, pengikutnya juga bahwa di tanah Qodyan dan Rabwah sana terdapat surga yang dijanjikan nabi dan rasul mereka, Mirza.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jika jamaah Ahmadiyah mengatakan Tazkirah bukan kitab suci mereka kaena Mirza tidak pernah menulisnya. Tazkirah adalah sebuah buku yang berisi kumpulan wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf, serta mimpi-mimpi yang diterima Mirza dalam hidupnya selama lebih dari 30 tahun, kitab Tazkirah ini dibuat atas prakarsa Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sekitar tahun 1935 (<em>lihat MA.Suryawan, Bukan Sekedar Hitam Putih, hal.51-52</em>).</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Tidakkah sebuah wahyu kepada seorang nabi, lalu dikumpulkan dan di bukukan, baik sewaktu sang nabi masih hidup maupun sudah meninggal, buku tersebut dikatakan kitab suci. Oleh agama manapun. Kalaulah Tazkirah tidak dikatakan suci oleh mereka, kenapa isinya sering digunakan sebagai doktrin ajaran mereka.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>Beberapa Doktrin Lain Yang Sesat:</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>Bai’at</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Konsep bai’at Jamaah Amadiyah sekilas mirip dengan keyakinan umat Islam Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah), syahadahnya sama, istighfarnya juga sama. Namun, bagi yang teliti, pada alinea terakhir bai’at tersebut termaktub:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Saya senantiasa tunduk-taat kepada Yang Mulia dengan sepenuhnya dalam menjalankan segala pekerjaan baik yang akan ditunjukkan oleh Yang Mulia. Saya akan tetap meyakini Nabi Suci Muhammad SAW sebagai <strong>Khataman Nabiyyin (yang Paling Mulia dari sekalian Nabi)</strong> dan akan beriman kepada segala <strong>da’wa (pengakuan) Hadhrat Masih Mau’ud as</strong>”.</em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dari sinilah orang selanjutnya digiring kejurang kesesatan dan pemurtadan. Sebab dia harus mengakui apa yang dida’wa (pengkuan) Hadhrat Masih Mau’ud as, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Yang mengaku sebagai Al-Mahdi, Al-Masih, Nabi, dan juga Rasul. Untuk membuka pengakuan ini, jamaah terlebih dahulu diminta mengakui konsep Nabi Suci Muhammad sebagai <strong>Khataman Nabiyyin </strong>yang menurut mereka adalah <strong>Yang Paling Mulia</strong> dari sekalian Nabi <strong>bukan sebagai penutup atau Nabi terakhir.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>Kesesatan Konsep Bahtera Nuh/Kisti Nuh.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Terdapat ajaran atau lebih tepatnya doktrin yang merupakan cirri dan pengikat ajaran ini selain bai’at. Yaitu yang lebih dikenal dengan doktrin Bahtera Nuh. Berikut petikannya:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Hendaknya hal ini dipahami dengan jelas, bahwa bai’at hanya berupa ikrar dilidah saja tidaklah punya arti apa-apa, jika tidak ditunjang oleh suatu kebulatan tekad hendak melaksanakan janji dengan sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengamalkan ajaranku selengkapnya, ia termasuk rumah ini-perihal rumah mana ada janji dari Allah SWT :” Inni uhaa fidzu kulla man fiddaari (Tiap-tiap orang yang berada di dalam dinding rumahmu akan Kuselamatkan)”.</em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>Tetapi dalam hal ini hendaknya janganlah diartikan, bahwa perlindungan Ilahi ini hanya diberikan kepada mereka yang berdiam di rumahku yang terbuat dari tanah dan batu bata ini, melainkan janji itu melingkupi pula mereka yang menaati ajaranku selengkap-lengkapnya, dan yang karenanya benar-benar dapat dikatakan sebagai penghuni rumah-rohaniku”.</em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dalam konsep ini jelas sekali jamaah Ahmadiyah mengklaim bahwa yang benar dan yang selamat adalah mereka yang masuk ke rumahku (Mirza Ghulam). Orang yang masuk ke rumahku adalah yang mengamalkan ajaranku secara sempurna.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dari sinilah timbul dan muncul pengakuan dan penyesatan berikutnya, antara lain:</div><ol style="margin-top: 0pt;" type="1"><li class="MsoNormal">Yang benar hanya ajaran Ahmadiyah</li>
<li class="MsoNormal">Selain pengikut jamaah ini adalah sesat, tidak selamat dan tidak masuk surga<em></em></li>
<li class="MsoNormal">Karena itu mereka mendirikan masjid sendiri, imam sendiri, komunitas sendiri.<em></em></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kalau sudah seperti ini masih layakkah ajaran seperti ini disebut/dikategorikan sebagai ajaran Islam? Bukankah mereka sudah memandang orang lain diluar agama mereka, termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah adalah salah dan sesat?</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Mereka tidak layak untuk mengklaim agamanya adalah Islam. Beda, sangat berbeda sekali. Kata yang tepat untuk mereka adalah <strong><em>“Lakum dinukum walyadin (Bagimu (hai… jamaah ahmadiyah) agamamu dan bagiku agamaku)”.</em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">Sumber : Buku Menguak Kesesatan Aliran Ahmadiyah, karangan Dr.Ahmad Lutfi Fatullah, MA.(Dosen PascaSarjana untuk mata kuliah Hadits dan ilmu Hadits di UIN Jakarta, UI, IIQ Jakarta, IAIN SGDBandung, Univ.Muhammadiyah, UIN-McGill Canada, Dosen penguji Siswazah Univ. Kebangsaan Malaysia)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">Penerbit :<span> </span>Al-Mughni Press.</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">Tulisan terkait</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;"> </div><a href="http://assajjad.wordpress.com/menguak-sesatnya-ahmadiyah/">menguak-sesatnya-ahmadiyah/</a>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-44403091367290782522011-03-09T19:23:00.001-08:002011-03-09T19:23:45.858-08:00MENGUAK SESATNYA AHMADIYAH<div class="content"> <div class="post-107 post type-post status-publish format-standard hentry category-aqidah category-ibadah category-kabar-berita category-khazanah category-sosok category-uncategorized" id="post-107"><div class="entry"> <div class="MsoNormal"><strong>Sejarah Munculnya Aliran Ahmadiyah</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Aliran ini sekarang kembali banyak diberitakan terkait keluarnya surat rekomendasi dari badan PAKEM nasional, yang merekomendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan aliran ini. Karena dinilai sudah melanggar 12 kesepakatan bersama, yang salah satunya adalah melarang aliran Ahmadiyah melakukan aktivitasnya di depan umum. Meskipun aliran ini memang terbukti sesat, namun sulit membubarkannya, karena di backup oleh Negara-negara kuat, salah satunya adalah Inggris. Dan bagi orang awam akan cukup sulit membedakan ajaran mereka dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Karena di awal merekrut anggota mereka akan mengatakan Nabi Muhammad juga nabi mereka, dan syahadatnya juga sama. Hanya saja mereka mengatakan/menafsirkan Khatamannabiyyin sebagai nabi termulia, bukan penutup para Nabi dan Rasul.<span id="more-107"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sejarah Ahmadiyah tidak lepas dari pendirinya yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Seorang pengikut ahmadiyah yang kemudian menjadi khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menulis riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad. Berikut petikannya:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">“Pendiri Jemaat Ahmadiyah bernama Hazrat MIrza Ghulam Ahmad. Nama beliau yang asli hanyalah <em>Ghulam Ahmad</em>. Mirza melambangkan keturunan <em>Moghul (Kerajaan Islam yang pernah ada di India)</em>. Kebisaannya adalah suka menggunakan nama <em>Ahmad</em> bagi nama beliau secara ringkas. Maka, waktu menerima bai’at dari orang-orang, beliau hanya memakai nama ahmad. Dalam ilham-ilham, Allah Ta’ala sering memanggil beliau dengan nama Ahmad juga. Hazrat Ahmad lahir pada tanggal 13 februari 1835 M, atau 14 Syawal 1230H, hari jum’at pada waktu sholat subuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar, saat ia lahir, beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama kemudian meninggal. Demikianlah sempurna sudah kabar gaib yang tertera di dalam kitab-kitab agama Islam bahwa <em>Imam Mahdi</em> akan lahir kembar. Qadian terletak 57km sebelah timur kota Lahore, dan 24km kota Amritsar di propinsi Punjab India”.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Lebih jauh perkembangan pergerakan ini ditulis: “Pergerakan jamaah Ahmadiyah dalam islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa. Saat ini jumlah anggotanya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang, dan angkanya terus bertambah dari hari ke hari. Jemaah ini adalah golongan islam yang paling dinamis dalam sejarah era modern. Jamaah ahmadiyah didirikan tahun 1889 oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ( 1835-1908 ) di qadian, suatu desa didaerah Punjab, India. Beliau mendakwahkan diri sebagai pembaharu (mujadid) yang diharapkan dating di akhir zaman dan beliau adalah seseorang yang ditunggu kedatangannya oleh semua masyarakat beragama (Mahdi dan Al-Masih). Beliau memulai pergerakan ini sebagai perwujudan dari ajaran dan pesan Islam yang sarat dengan kebajikan, perdamaian, persaudaraan, universal dan tunduk patuh pada kehendakNya dalam kemurnian yang sejati. Hazrat Ahmad menyatakan bahwa Islam sebagai agama bagi umat manusia:”Agama orang-orang yang berada di jalan yang lurus”.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Setelah wafatnya pendiri jamaah Ahmadiyah, gerakan ini dipimpin oleh para khalifah:</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">Khalifah Masih I<span> </span>: Hazrat Maulvi Nuruddin (1908-1914)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">Khalifah Masih II<span> </span>: Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">Khalifah Masih III<span> </span>: Hazrat Hafiz Nasir Ahmad (1965-1983)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">Khalifah Masih IV<span> </span>: Mirza Tahir Ahmad (1983-2003)</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Khalifah Masih V<span> </span>: Hazrat Mirza Masroor Ahmad (2003-sekarang).<strong> </strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>Kenabian Mirza Ghulam Ahmad</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Para pendakwah Ahmadiyah sering mengelak dan berkilah dari konsep kenabian Mirza. Sebab, jika diawal mereka terang-terangan mengakui kenabian Mirza, maka akan mudah lawan-lawan Ahmadiyah menyerangnya dan mengatakannya sesat, diluar Islam, maka aliran ini akan sulit mendapatkan simpati dan pengikut.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berikut beberapa teks dari buku-buku yang dikarang sendiri oleh Mirza atau pengikut aliran ini, yang menunjukan bahwa Mirza Ghulam Ahmad nabi ataukah manusia biasa:</div><ol style="margin-top: 0pt;" type="1"><li class="MsoNormal">Dari terjemahan buku Ahmadiyah yang berjudul (The Ahmadiyya Movement in Islam inc.) karangan Louis J. Hamman dari Gettysburg College, terjemahannya direstui oleh Syekh Mubarrak Ahmad, tertulis sebagai berikut: “Bagaimanapun sampai umur 41 tahun (1876) Hazrat Ahmad mulai menerima banyak wahyu yang akan membawanya pada keyakinan bahwa didalam pribadinya telah genap datangnya Al-Mahdi. “Setelahnya”, sebagaimana kata Zafrullah Khan, “telah diwahyukan kepadanya bahwa ia juga adalah Al-Masih yang dijanjikan dan benar-benar seorang nabi yang dating seperti yang telah dikabarkan dalam agama-agama utama di dunia “. Ia adalah “juara yang berasal dari Tuhan dengan jubah pakaian semua para Nabi”.</li>
<li class="MsoNormal">Dalam buku yang juga dikeluarkan oleh jamaah Ahmadiyah berjudul <em>“Perjalanan Mirza Ghulam Ahmad” </em>termuat sebagai berikut:</li>
</ol><div class="MsoNormal" style="margin-left: 45pt; text-align: justify; text-indent: -9pt;">- Tahun 1876 Hazrat Ahmad berusia kurang lebih 40 tahun ketika ayah beliau sakit, dan penyakitnya tidaklah begitu berbahaya. Tetapi Allah menurunkan ilham ini kepada beliau: “<em>Persumpahan demi langit yang merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah tenggelamnya matahari pada hari ini”.</em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 45pt; text-align: justify;">Tiba-tiba saya rasakan seperti tidur dan menerima ilham yang kedua: <em>“Apakah Allah tidak cukup bagi HambaNya?”</em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 45pt; text-align: justify; text-indent: -9pt;">- Di dalam buku itu, Hazrat Ahmad juga mencantumkan beberapa ilham yang beliau terima, sebagian diantaranya kami paparkan disini supaya terlihat bukti-bukti kebenarannya: <em>“Seorang nabi telah datang ke dunia, namun dunia tidak menerimanya”.</em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 45pt; text-align: justify;"><em>“Akan datang kepadamu hadiah-hadiah dari tempat-tempat yang jauh dan orang-orang banyak akan datang dari tempat-tempat yang jauh”.</em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">Pendakwaan Diri sebagai Masih Mau’ud</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 45pt; text-align: justify; text-indent: -9pt;"><!–[if !supportLists]–><span>-<span> </span></span><!–[endif]–><span> </span>“Pada tahun 1891 telah terjadi suatu perubahan yang amat besar, yakni Hazrat Ahmad diberi ilham oleh Allah bahwasannya Nabi Isa yang ditunggu-tunggu kedatangannya kedua kali itu telah wafat dan tidak akan datang lagi kedunia ini. Kedatangan nabi Isa kedua adalah orang lain yang akan datang dengan sifat dan cara seperti nabi Isa, yaitu Hazrat Ahmad sendiri orangnya.</div><ol style="margin-top: 0pt;" type="1"><li class="MsoNormal">Dalam buku yang dikeluarkan oleh jamaah Ahmadiyah yang berjudul:<em> Analisa Tentang Khataman Nabiyyin,</em> dinukil beberapa perkataan Mirza:<em> “Kami beriman bahwa nabi Muhammad berpangkat Khataman dan sesudah beliau tidak akan ada seorangpun <span style="text-decoration: underline;">terkecuali yang dipelihara oleh faidh dan berkatnya dan sudah dinyatakan oleh janjinya</span>”.</em></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><em>“Sesungguhnya nabi kita(Muhammad) adalah khatamul anbiyaa, sesudah beliau tidak ada seorangpun nabi<span style="text-decoration: underline;">, terkecuali orang yang diterangi oleh nur beliau dan yang penzahirannya adalah bayangan dari penzahiran beliau</span>”.</em></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">Lalu penulis buku itu menyimpulkan: “Yang menjadi perbedaan antara kami jamaah Ahmadiyah dengan golongan Islam lain hanyalah satu, kami percaya bahwa nabi yang dijanjikan sudah datang, yakni Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad”.</div><ol style="margin-top: 0pt;" type="1"><li class="MsoNormal">Dalam buku <em>Ajaranku</em> yang ditulis oleh Mirza sendiri termuat: “Aku sekali-kali tidak mengingkari keluhuran Hazrah Isa, sungguhpun kepadaku Tuhan mengabarkan bahwa Masih Muhammadi berkedudukan lebih tinggi dari Masih Musawi, akan tetapi aku memberi penghormatan yang sangat tinggi terhadap Masih ibnu Maryam, oleh sebab dalam segi kerohanian aku adalah <em>Khatamul Khulafa</em> di dalam Islam, seperti halnya Masih ibnu Maryam adalah Khatamul Khulafa di dalam silsilah Israil. Dalam Syariah Musa, Isa ibnu Maryam adalah Masih Mau’ud, sedangkan di dalam syariah Muhammad SAW akulah Masih Mau’ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku, dan barang siapa yang mengatakan bahwa aku tidak menghormati beliau, dialah seorang pembuat onar dan seorang pendusta besar”.</li>
</ol><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dari beberapa tulisan di atas, jelas dan tidak diragukan lagi bahwa:</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!–[if !supportLists]–><span>-<span> </span></span><!–[endif]–><strong>Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya sebagai nabi dan rasul yang menerima wahyu</strong></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!–[if !supportLists]–><span>-<span> </span></span><!–[endif]–><strong>Kadang Mirza juga mengaku sebagai Al-Mahdi, kadang Al-Masih dan kadang Al-Mau’ud atau Masih Mau’ud</strong></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><!–[if !supportLists]–><span>-<span> </span></span><!–[endif]–><strong>Para</strong><strong> pengikut aliran ini sepakat bahwa Mirza adalah nabi dan menerima wahyu</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Disinilah kesesatan mereka mulai terihat.</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">Sumber : Buku Menguak Kesesatan Aliran Ahmadiyah, karangan Dr.Ahmad Lutfi Fatullah, MA.(Dosen PascaSarjana untuk mata kuliah Hadits dan ilmu Hadits di UIN Jakarta, UI, IIQ Jakarta, IAIN SGDBandung, Univ.Muhammadiyah, UIN-McGill Canada, Dosen penguji Siswazah Univ. Kebangsaan Malaysia)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">Penerbit :<span> </span>Al-Mughni Press.</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-align: justify; text-indent: -1in;">Tulisan Terkait:</div><a href="http://assajjad.wordpress.com/menguak-sesatnya-ahmadiyahbagiikebohongan-tazkirah/">menguak-sesatnya-ahmadiyahbagiikebohongan-tazkirah/</a><br />
<div class="postinfo"> Filed under: <a href="http://id.wordpress.com/tag/aqidah/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Aqidah">Aqidah</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/ibadah/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam ibadah">ibadah</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/kabar-berita/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Kabar berita">Kabar berita</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/khazanah/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Khazanah">Khazanah</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/sosok/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Sosok">Sosok</a>, <a href="http://assajjad.wordpress.com/category/uncategorized/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Uncategorized">Uncategorized</a> </div></div></div><div class="browse">« <a href="http://assajjad.wordpress.com/2008/04/20/kemana-hilangnya-rasa-kasih-sayang/" rel="prev">Kemana Hilangnya Rasa Kasih Sayang?</a> <a href="http://assajjad.wordpress.com/2008/04/30/menguak-sesatnya-ahmadiyahbagiikebohongan-tazkirah/" rel="next">Menguak Sesatnya Ahmadiyah(bag.II.Kebohongan Tazkirah)</a> »</div></div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-17739711153385883352011-03-09T19:15:00.000-08:002011-03-09T19:15:28.316-08:00Ahmadiyah Kelompok Pengekor Nabi Palsu<strong>Apa Itu Ahmadiyah ?</strong><br />
Ahmadiyah adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900M, yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran/bentuk khusus, sehingga tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan ini dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah “Majalah Al-Adyan” yang diterbitkan dengan bahasa Inggris.<br />
<span id="more-161"></span><strong>Siapakah Mirza Ghulam Ahmad ?</strong><br />
Mirza Ghulam Ahmad hidup pada tahun 1839-1908M. Dia dilahirkan di desa Qadian, di wilayah Punjab, India tahun 1839M. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan dan senantiasa mentaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris. Oleh pengikutnya dia dikenal sebagai orang yang suka menghasut/berbohong, banyak penyakit, dan pecandu narkotik.<br />
Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka. Sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada pemerintah Inggris.<br />
Di antara yang melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin Jami’ah Ahlul Hadits di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza Ghulam Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan pengakuannya.<br />
Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama), agar Allah mematikan siapa yang berdusta di antara mereka, dan yang benar tetap hidup. Tidak lama setelah bermubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908M.<br />
Pada awalnya Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para da’i Islam yang lain, sehingga berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang <em>mujaddid</em> (pembaharu). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi kita Muhammad <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<br />
Dia mati meninggalkan lebih dari 50 buku, buletin serta artikel hasil karyanya.<br />
Di antara kitab terpenting yang dimilikinya berjudul <em>Izalatul Auham</em>, <em>I’jaz Ahmadi</em>, <em>Barahin Ahmadiyah</em>, <em>Anwarul Islam</em>, <em>I’jazul Masih</em>, <em>At-Tabligh</em> dan <em>Tajliat Ilahiah</em>.<br />
<strong>Pemikiran dan Keyakinan Ahmadiyah</strong><br />
<ol><li>Meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Masih yang dijanjikan.</li>
<li>Meyakini bahwa Allah berpuasa dan melaksanakan shalat, tidur dan mendengkur, menulis dan menyetempel, melakukan kesalahan dan berjimak. Mahatinggi Allah setinggi-tingginya dari apa yang mereka yakini.</li>
<li>Keyakinan Ahmadiyah bahwa tuhan mereka adalah Inggris, karena dia berbicara dengannya menggunakan bahasa Inggris.</li>
<li>Berkeyakinan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan memberikan wahyu dengan diilhamkan sebagaimana Al-Qur’an.</li>
<li>Menghilangkan aqidah/syariat jihad dan memerintahkan untuk mentaati pemerintah Inggris, karena menurut mereka pemerintah Inggris adalah waliyul amri (pemerintah Islam) sebagaimana tuntunan Al-Qur’an.</li>
<li> Seluruh orang Islam menurut mereka kafir sampai mau bergabung dengan Ahmadiyah. Seperti bila ada laki-laki atau perempuan dari golongan Ahmadiyah yang menikah dengan selain pengikut Ahmadiyah, maka dia kafir.</li>
<li>Membolehkan khamer, opium, ganja dan apa saja yang memabukkan.</li>
<li>Mereka meyakini bahwa kenabian tidak ditutup dengan diutusnya Nabi Muhammad <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, akan tetapi terus ada. Allah mengutus rasul sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Dan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi yang paling utama dari para nabi yang lain.</li>
<li>Mereka mengatakan bahwa tidak ada Al-Qur’an selain apa yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad. Dan tidak ada Al-Hadits selain apa yang disampaikan di dalam majelis Mirza Ghulam Ahmad. Serta tidak ada nabi melainkan berada di bawah pengaturan Mirza Ghulam Ahmad.</li>
<li>Meyakini bahwa kitab suci mereka diturunkan (dari langit), bernama Al-Kitab Al-Mubin, bukan Al-Qur’an Al-Karim yang ada di tangan kaum muslimin.</li>
<li>Mereka meyakini bahwa Al-Qadian (tempat awal gerakan ini) sama dengan Madinah Al-Munawarah dan Mekkah Al-Mukarramah ; bahkan lebih utama dari kedua tanah suci itu, dan suci tanahnya serta merupakan kiblat mereka dan kesanalah mereka berhaji.</li>
<li>Mereka meyakini bahwa mereka adalah pemeluk agama baru yang indenpenden, dengan syarat yang indenpenden pula, seluruh teman-teman Mirza Ghulam Ahmad sama dengan sahabat Nabi Muhammad <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.</li>
</ol><strong>Akar Pemikiran dan Keyakinan Ahmadiyah</strong><br />
<ol><li>Bermula dari gerakan orientalis bawah tanah yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan yang menyebarkan pemikiran-pemikiran menyimpang ; yang secara tidak langsung telah membuka jalan bagi munculnya gerakan Ahmadiyah.</li>
<li>Inggris menggunakan kesempatan ini dan membuat gerakan Ahmadiyah, dengan memilih untuk gerakan ini seorang lelaki pekerja dari keluaga bangsawan.</li>
<li>Pada tahun 1953M, terjadilah gerakan sosial nasional di Pakistan menuntut diberhentikannya Zhafrillah Khan dari jabatannya sebagai menteri luar negeri. Gerakan itu dihadiri oleh sekitar 10 ribu umat muslim, termasuk pengikut kelompok Ahmadiyah, dan berhasil menurunkan Zhafrillah Khan dari jabatannya.</li>
<li>Pada bulan Rabiul Awwal 1394H, bertepatan dengan bulan April 1974M dilakukan muktamar besar oleh Rabhithah Alam Islami di Mekkah Al-Mukarramah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh lembaga-lembaga Islam seluruh dunia. Hasil muktamar memutuskan “Kufurnya kelompok ini dan keluar dari Islam. Meminta kepada kaum muslimin berhati-hati terhadap bahaya kelompok ini dan tidak bermu’amalah dengan pengikut Ahmadiyah, serta tidak menguburkan pengikut kelompok ini di pekuburan kaum Muslimin”.</li>
<li>Majelis Rakyat (Parlemen) Pakistan melakukan debat dengan gembong kelompok Ahmadiyah bernama Nasir Ahmad. Debat ini berlangsung sampai mendekati 30 jam. Nasir Ahmad menyerah/tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan tersingkaplah kedok kufurnya kelompok ini. Maka majelis parlemen mengeluarkan keputusan bahwa kelompok ini lepas dari agama Islam.</li>
</ol><strong>Hal-Hal yang Mewajibkan Kafirnya Mirza Ghulam Ahmad</strong><br />
<ol><li>Pengakuannya sebagai nabi.</li>
<li>Menghapus kewajiban jihad dan mengabdi kepada penjajah.</li>
<li>Meniadakan berhaji ke Mekkah dan menggantinya dengan berhaji ke Qadian.</li>
<li>Penyerupaan yang dilakukannya terhadap Allah dengan manusia.</li>
<li>Kepercayaannya terhadap keyakinan <em>tanasukh</em> (menitisnya ruh) dan <em>hulul</em> (bersatunya manusia dengan tuhan).</li>
<li>Penisbatannya bahwa Allah memiliki anak, serta klaimnya bahwa dia adalah anak tuhan.</li>
<li>Pengingkarannya terhadap ditutupnya kenabian oleh Muhammad <em>Shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, dan membuka pintu bagi siapa saja yang menginginkannya.</li>
</ol><strong>Penyebaran dan Aktifitas Ahmadiyah</strong><br />
<ol><li>Penganut aliran Ahmadiyah kebanyakan hidup di India dan Pakistan dan sebagian kecilnya di Israel dan wilayah Arab. Mereka senantiasa membantu penjajah agar dapat membentuk/membangun sebuah markas di setiap negara di mana mereka berada.</li>
<li>Ahmadiyah memiliki pekerjaan besar di Afrika dan pada sebagian negara-negara Barat. Di Afrika saja mereka beranggotakan kurang lebih 5000 mursyid dan da’i yang khusus merekrut manusia kepada kelompok Ahmadiyah. Dan aktifitas mereka secara luas memperjelas bantuan/dukungan mereka terhadap penjajahan.</li>
<li>Keadaan kelompok Ahmadiyah yang sedemikian, ditambah perlakuan pemerintah Inggris yang memanjakan mereka, memudahkan para pengikut kelompok ini bekerja menjadi pegawai di berbagai instansi pemerintahan di berbagai negara, di perusahaan-perusahaan dan persekutuan-persekutuan dagang. Dari hasil kerja mereka itu dikumpulkanlah sejumlah dana untuk membiayai dinas rahasia yang mereka miliki</li>
<li>Dalam menjalankan misi, mereka merekrut manusia kepada kelompok Ahmadiyah dengan segala cara, khsusnya media massa. Mereka adalah orang-orang yang berwawasan dan banyak memiliki orang pandai, insinyur dan dokter. Di Inggris terdapat stasiun pemancar TV dengan nama “TV Islami” yang dikelola oleh penganut kelompok Ahmadiyah.</li>
</ol><strong>Pemimpin-Pemimpin Ahmadiyah</strong><br />
<ol><li>Pemimpin Ahmadiyah sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad bernama Nuruddin. Pemerintah Inggris menyerahkan kepemimpinan Ahmadiyah kepadanya dan diikuti para pendukungnya. Di antara tulisannya berjudul “<em>Fashlb Al-Khithab</em>“.</li>
<li>Pemimpin lainnya adalah <strong>Muhammad Ali</strong> dan Khaujah Kamaluddin. Amir Ahmadiyah di Lahore. Keduanya adalah corong dan ahli debat kelompok Ahmadiyah. Muhammad Ali telah menulis terjemah Al-Qur’an dengan perubahan transkripnya ke dalam bahasa Inggris. Tulisannya yang lain. <em>Haqiqat Al-Ikhtilaf An-Nubuwah Fi Al-Islam</em> dan <em>Ad-Din Al-Islami</em>. Khaujah Kamaluddin menulis kitab yang berjudul <em>Matsal Al-A’la Fi Al-Anbiya</em> serta kitab-kitab lain. Jamaah Ahmadiyah Lahore ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah seorang mujadid. Tetapi yang berpandangan seperti ini dan yang tidak, mereka sama saja saling mengadopsi satu sama lain.</li>
<li>Muhammad Shadiq, mufti kelompok Ahmadiyah. Di antara tulisannya berjudul <em>Khatam An-Nabiyyin</em>.</li>
<li>Basyir Ahmad bin Ghulam, pemimpin pengganti kedua setelah Mirza Ghulam Ahmad. Di antara tulisannya berjudul <em>Anwar Al-Khilafah,</em> <em>Tuhfat Al-Muluk</em>, <em>Haqiqat An-Nubuwwah</em>.</li>
<li>Dzhafrilah Khan, menteri luar negeri Pakistan. Dia memiliki andil besar dalam menolong kelompok sesat ini, dengan memberikan tempat luas di daerah Punjab sebagai markas besar Ahmadiyah sedunia, dengan nama <em>Robwah Isti’aroh</em> (tanah tinggi yang datar) yang diadopsi dari ayat Al-Qur’an: <em>“Dan Kami melindungi mereka di suatu Robwah Isti’aroh (tanah tinggi yang datar) yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.”</em> (Qs. Al-Mukminun: 50)</li>
</ol><strong>Kesimpulan</strong><br />
Ahmadiyah adalah kelompok sesat yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Aqidah (keyakinan) mereka berbeda dengan keyakinan agama Islam dalam segala hal. Kaum Muslimin perlu diperingatkan atas aktifitas mereka, setelah para ulama Islam memfatwakan bahwa kelompok ini kuffur.<br />
<strong>Maraji’:</strong><br />
<ol><li><em>Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Fi Al-Adyan Wa Al-Madzahib Wa Al-Ahzab Al-mu’ashirah</em>, oleh DR Mani’ Ibnu Hammad al-Jahani</li>
<li><em>Tabshir Al-Adhan bi Ba’di Al-Madzahib wa Al-Adyan</em>, oleh Muhammad As-Sabi’i</li>
</ol>***<br />
Sumber: Majalah Fatawa Vol. 06. Th. II 1425H/2004M.<br />
Disusun dan dialihbahasakan oleh: Abu Asiah<br />
Artikel dari almanhaj.or.id dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.idMUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-65901673156776332752011-02-23T04:31:00.000-08:002011-02-23T04:31:35.583-08:00RASUL MUHAMMAD SAW PENUTUP NABI DAN RASUL<span data-jsid="text">Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS. Al-Ahzab, 33:40) </span><br />
<span data-jsid="text">مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِي...مًا</span><br />
<br />
<br />
<h6 class="uiStreamMessage" data-ft="{"type":"msg"}"><span class="messageBody">“Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku”[Abu Daud]</span></h6>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-2564526747142736282011-01-12T22:19:00.000-08:002011-01-12T22:19:10.186-08:00Cara Bersyukur Kepada ALLAH SWT Menurut Al-Ghazali<h2>Cara Bersyukur Kepada ALLAH SWT</h2><div class="info"> <span class="date">12/10/2009</span> <span class="author"><a href="http://dheryudi.wordpress.com/author/dheryudi/" title="Posts by Laki-laki Biasa">Laki-laki Biasa</a></span> <span class="addcomment"><a href="http://dheryudi.wordpress.com/2009/10/12/cara-bersyukur-kepada-allah-swt/#respond">Leave a comment</a></span> <span class="comments"><a href="http://dheryudi.wordpress.com/2009/10/12/cara-bersyukur-kepada-allah-swt/#comments">Go to comments</a></span> </div><strong>Oleh </strong>: M. Khalilurrahman Al Mahfani<br />
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada ALLAH SWT terdiri dari empat komponen.<br />
<strong>1. Syukur dengan Hati</strong><br />
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh, baik besar, kecil, banyak maupun sedikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan ALLAH.<br />
ALLAH SWT berfirman,<br />
<blockquote>Segala nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari ALLAH. (QS. An-Nahl: 53)</blockquote>Syukur dengan hati dapat mengantar seseorang untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan, betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini akan melahirkan betapa besarnya kemurahan da kasih sayang ALLAH sehingga terucap kalimat <em>tsana’</em> (pujian) kepada-NYA.<br />
<strong>2. Syukur dengan Lisan</strong><br />
Ketika hati seseorang sangat yakin bahwa segala nikmat yang ia peroleh bersumber dari ALLAH, spontan ia akan mengucapkan <em>“Alhamdulillah”</em> (segala puji bagi ALLAH). Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat dari seseorang, lisannya tetap memuji ALLAH. Sebab ia yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang ALLAH kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya.<br />
<em>Al </em>pada kalimat <em>Alhamdulillah </em>berfungsi sebagi <em>istighraq</em>, yang mengandung arti keseluruhan. Sehingga kata alhamdulillah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah ALLAH SWT, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-NYA.<br />
Oleh karena itu, kita harus mengembalikan segala pujian kepada ALLAH. Pada saat kita memuji seseorang karena kebaikannya, hakikat pujian tersebut harus ditujukan kepada ALLAH SWT. Sebab, ALLAH adalah Pemilik Segala Kebaikan.<br />
<strong>3. Syukur dengan Perbuatan</strong><br />
Syukur dengan perbuatan mengandung arti bahwa segala nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhoi-NYA. Misalnya untuk beribadah kepada ALLAH, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya. Nikmat ALLAH harus kita pergunakan secara proporsional dan tidak berlebihan untuk berbuat kebaikan.<br />
Rasulullah saw menjelaskan bahwa ALLAH sangat senang melihat nikmat yang diberikan kepada hamba-NYA itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Rasulullah saw bersabda,<br />
<blockquote>Sesungguhnya ALLAH senang melihat atsar (bekas/wujud) nikmat-NYA pada hamba-NYA. (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr)</blockquote>Maksud dari hadits di atas adalah bahwa ALLAH menyukai hamba yang menampakkan dan mengakui segala nikmat yang dianugerahkan kepadanya. Misalnya, orang yang kaya hendaknya menampakkan hartanya untuk zakat, sedekah dan sejenisnya. Orang yang berilmu menampakkan ilmunya dengan mengajarkannya kepada sesama manusia, memberi nasihat dsb. Maksud menampakkan di sini bukanlah pamer, namun sebagai wujud syukur yang didasaari karena-NYA. ALLAH SWT berfirman,<br />
<blockquote>Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur). (QS. Adh-Dhuha: 11)</blockquote><strong>4. Menjaga Nikmat dari Kerusakan</strong><br />
Ketika nikmat dan karunia didapatkan, cobalah untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, usahakan untuk menjaga nikmat itu dari kerusakan. Misalnya, ketika kita dianugerahi nikmat kesehatan, kewajiban kita adalah menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit.<br />
Demikian pula dengan halnya dengan nikmat iman dan Islam. Kita wajib menjaganya dari “kepunahan” yang disebabkan pengingkaran, pemurtadan dan lemahnya iman. Untuk itu, kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam kita dengan sholat, membaca Al-Qur’an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdoa. Kita pun harus membentengi diri dari perbuatan yang merusak iman seperti munafik, ingkar dan kemungkaran. Intinya setiap nikmat yang ALLAH berikan harus dijaga dengan sebaik-baiknya.<br />
ALLAH SWT menjanjikan akan menambah nikmat jika kita pandai bersyukur, seperti pada firmannya berikut ini,<br />
<blockquote><strong>La’insyakartum la’aziidannakum wa la’inkafartum ‘inna ‘adzaabii lasyadiid</strong><br />
(Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-KU), sungguh adzab-KU sangat pedih. (QS. Ibrahim: 7) </blockquote><br />
Sumber :<br />
http://dheryudi.wordpress.com/2009/10/12/cara-bersyukur-kepada-allah-swt/MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-57490249387474874522011-01-12T22:14:00.000-08:002011-01-12T22:14:52.149-08:00Seruan Bersyukur Kepada Maha Pencipta<h3 class="post-title entry-title"> Seruan Bersyukur Kepada Maha Pencipta </h3><div class="post-header"> </div>Marillah Kita Bersyukur<br />
<br />
Bersyukur adalah antara sifat-sifat mahmudah yang wajib ada pada setiap muslim mukmin dan muttaqin. Kerana sifat syukur terangkum padanya erti pengakuan, pengiktirafan, tawadhu' dan merendah diri. Hanya orang yang memperakui pihak lain, tawadhu' dan merendah diri sahaja akan bersyukur dan berterima kasih.<br />
<br />
Apa erti syukur? Syukur ialah berterima kasih, menghargai, mengakui sesuatu pemberian dan menggunakan pada perkara yang diredhai oleh pemberi.<br />
<br />
<br />
Kepada siapa seharusnya kita bersyukur dan berterima kasih? Pastinya yang paling utama dan paling wajib ialah kita bersyukur kepada Allah swt. Tuhan yang memberikan nikmat kepada kita tanpa terhitung banyaknya.<br />
<br />
Firman Allah swt;<br />
<br />
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ<br />
<br />
Maksudnya; Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, nescaya kamu tidak dapat menghitungnya jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (An Nahl :18).<br />
<br />
Sekiranya kita bersyukur sudah pasti Allah akan menambahkan nikmat-Nya sebagaimana firman Allah swt;<br />
<br />
<br />
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ<br />
<br />
<br />
Maksudnya; Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kamu memberitahu kepada kamu, sekiranya kita bersyukur Aku akan menambahkan (nikmat-Ku) kepada kamu tetapi sekiranya kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sungguh pedih".Ibrahim:7.<br />
<br />
<br />
Bersyukur adalah sebagai tanda kita mengakui diri kita hamba Allah yang tunduk kepada kerajaan Allah yang maha kaya yang memiliki segala sesuatu. Jika sebaliknya maka kita adalah seorang hamba yang menderhakai Tuhannya yang telah mengurniakan kepadanya segala kesenangan dan kenikmatan.<br />
<br />
Suatu ketika Rasulullah pernah ditegur oleh isterinya, Aisyah apabila melihat baginda berterusan bersembahyang sehingga menyebabkan kaki baginda bengkak. Aisyah berkata: "Bukankah Allah telah mengampunkan dosamu yang terdahulu dan yang akan datang? Baginda menjawab: "Salahkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?"<br />
<br />
Rasulullah adalah contoh yang terbaik bagi kita. Baginda mengajar kita bagaimana cara untuk bersyukur kepada Allah. Iaitu segala nikmat yang telah kita terima mestilah dibalas dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ramai orang yang semakin jauh daripada Allah setelah menikmati kesenangan bahkan yang sanyat menyedihkan ada diantara mereka yang menafikan sama sekali kenikmatan yang diterimanya adalah kurniaan daripada Allah.<br />
<br />
Manusia yang lupa untuk bersyukur ini seharusnya mengingati bencana yang telah menimpa ke atas Qarun, seorang yang hidup pada zaman nabi Allah Musa iaitu orang yang terkaya di dunia tetapi tidak bersyukur kepada Allah. Maka kerana itu, Allah membinasakan beliau bersama-sama dengan segala harta kekayaannya supaya ianya menjadi peringatan kepada manusia yang akan datang.<br />
<br />
Luqman al-Hakim mengajar anaknya agar sentiasa bersyukur kepada Allah swt. Firman Allah swt;<br />
<br />
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ<br />
<br />
<br />
Maksudnya; Dan sesungguhnya Kami telah memberi kepada Luqman, hikmat kebijaksanaan, (serta Kami perintahkan kepadanya): Bersyukurlah kepada Allah (akan segala nikmatNya kepadamu)". Dan sesiapa yang bersyukur maka faedahnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan sesiapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi hal kepada Allah), kerana sesungguhnya Allah Maha Kaya, lagi Maha Terpuji. Luqman:12.<br />
<br />
Pengajaran kisah tiga orang dari kalangan Bani Israel.<br />
<br />
Dari Abu Hurairah r.a.: Ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada tiga orang dari Bani Israil yang masing-masingnya berpenyakit kusta, botak dan buta. Tuhan hendak menguji, lalu mengutus malaikat menemui mereka. Malaikat itu datang lebih dahulu kepada yang berpenyakit kusta. Kata malaikat itu: "Apakah sesuatu yang paling engkau sukai?" Jawabnya: "Warna yang bagus dan kulit yang bagus! Orang banyak telah jijik melihat ku!" Malaikat itu mengusapnya. Lalu hilanglah penyakitnya. Kemudian diberi warna yang bagus dan kulit yang bagus. Kata malaikat: "Apakah harta yang paling engkau sukai? "Jawabnya: "Unta!" Lalu ia diberi unta yang bunting sepuluh bulan. Kata malaikat: " Engkau akan diberi keberkatan",<br />
<br />
<br />
Kemudian malaikat itu datang kepada orang yang botak seraya berkata: "Apakah sesuatu yang paling engkau sukai?" Katanya: "Rambut yang bagus dan botak ini hilang dari aku kerana orang banyak telah jijik melihat ku". Malaikat itu lalu mengusapnya maka hilanglah botaknya dan ia diberi rambut yang bagus. Kata malaikat: "Apakah harta yang paling engkau sukai'?" Katanya: "Lembu!" Malaikat itu lalu memberinya seekor lembu yang bunting, seraya berkata: " Engkau akan diberi keberkatan".<br />
<br />
<br />
Kemudian malaikat itu datang pula kepada orang yang buta, seraya berkata: "Apakah sesuatu yang paling engkau sukai?" Jawabnya: "Mudah-mudahan Tuhan mengembalikan penglihatan ku supaya dapat melihat manusia". Malaikat itu pun mengusapnya. Tuhan mengembalikan penglihatannya. Kata malaikat: "Apakah harta yang paling engkau sukai?" Jawabnya: "Kambing!" Malaikat itu lalu memberinya kambing yang bunting.<br />
<br />
<br />
Sesudah itu beranaklah unta dan lembu, dan kambing beranak pula. Maka orang-orang itu mempunyai lembah yang dipenuhi unta, lembah yang dipenuhi lembu dan, lembah yang dipenuhi kambing. Kemudian datanglah malaikat yang dahulu kepada orang yang tadinya berpenyakit kusta dalam rupa dan keadaannya (yang menyedihkan), seraya katanya: "Saya ini seorang laki-laki miskin yang telah melintasi bukit dalam perjalanan. Maka pada hari ini tiadalah yang menyampaikan melainkan Tuhan. Kemudian saya datang kepada engkau untuk meminta dengan nama Tuhan yang telah memberi engkau dengan warna yang bagus dan harta berupa unta, agar engkau sudi mencukupkan belanja dalam perjalanan ku".<br />
<br />
<br />
Kata orang itu: "Kewajiban-kewajiban yang lain masih banyak!" Kata malaikat itu padanya: "Seakan-akan saya telah mengenal engkau. Bukankah engkau dahulunya berpenyakit kusta dan orang banyak jijik melihat engkau, lagi miskin, tetapi kemudian Tuhan memberi kebaikan dan kekayaan kepada engkau?" Kata orang itu: "Harta ini saya warisi dari bapa dan nenek saya". Kata malaikat: "Kalau engkau dusta, Tuhan akan menjadikan engkau sebagaimana keadaan engkau dahulunya!"<br />
<br />
<br />
Dan kemudian malaikat itu datang kepada orang yang dahulunya botak dengan rupa dan keadaan yang menyedihkan, lalu dikatakannya pula sebagai perkataan kepada orang tadi. Orang itu pun menjawab sebagai jawapan orang itu pula. Malaikat lalu berkata: "Kalau engkau dusta Tuhan akan menjadikan engkau sebagaimana keadaan engkau dahulunya".<br />
<br />
<br />
Dan kemudian ia datang kepada orang yang dahulunya buta dengan rupa yang menyedihkan, seraya berkata: "Saya ini seorang laki-laki miskin dan telah melintasi bukit dalam perjalanan ku. Maka had ini tiada yang akan menyampaikan melainkan Tuhan. Saya datang kepada engkau untuk meminta dengan nama Tuhan yang telah memberi penglihatan dan kambing kepada engkau untuk mencukupkan perbekalanku dalam perjalanan ku ".<br />
<br />
<br />
Kata orang itu: "Saya dahulunya buta. Tuhan lalu mengembalikan penglihatan saya. Dahulunya saya miskin dan Tuhan telah mengayakan saya. Sebab itu ambillah sesukamu! Demi Allah! Hari ini saya tiada akan mencegah engkau mengambilnya kerana Allah, berapa saja". Kata malaikat" itu: "Peganglah harta engkau! Sesungguhnya kamu diuji. Tuhan telah rela (merasa senang) kepada engkau dan marah kepada dua orang kawan engkau".<br />
<br />
Sumber : http://waladi-dimalaysia.blogspot.com/2010/01/seruan-bersyukur-kepada-maha-pencipta.html MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-87669363885467990082011-01-12T22:03:00.001-08:002011-01-12T22:03:40.152-08:00Cara Bersyukur Kepada Allah SWT<h3 class="post-title entry-title"> Cara Bersyukur Kepada Allah SWT </h3><div class="post-header"> </div>Berbagai cara dan metode boleh digunakan untuk menunjukan rasa syukur dan berterima kasih samada kepada Allah swt mahupun sesama manusia. Pada asasnya ada tiga cara yang boleh digunakan untuk menunjukkan rasa syukur, dan gabungan ketiga-ketiga cara tadi adalah syukur yang paling sempurna.<br />
<br />
<br />
Imam Ibnu Rajab berkata, “Syukur itu dengan hati, lisan dan anggota badan”.<br />
<br />
<br />
1. Syukur dengan hati adalah mengakui nikmat tersebut dari Allah, berasal dari-Nya dan atas keutamaannya. Apabila hatinya bersyukur maka akan lahirkan bentuk syukur yang kedua dan yang ketiga iaitu syukur dengan lisan dan perbuatan.<br />
<br />
<br />
2. Syukur dengan lisan iaitu selalu memuji Yang Memberi nikmat (Allah), menyebut nikmat itu, mengulang-ulangnya serta menampakkan nikmat tersebut;<br />
<br />
Allah s.w.t. berfirman,<br />
<br />
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ<br />
<br />
Maksudnya “ dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-yebutNya (dengan bersyukur)”. (al-Dhuha:11)<br />
<br />
<br />
3 Syukur dengan anggota badan iaitu tidak menggunakan nikmat tersebut, kecuali dalam rangka ketaatan kepada Allah s.w.t., berwaspada dari menggunakan nikmat untuk kemaksiatan kepada-Nya.<br />
<br />
<br />
Ulamak dalam menghuraikan ayat;<br />
<br />
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِي الشَّكُورُ<br />
<br />
Kami katakan, wahai keluarga Daud bersukurlah kepada Allah swt atas nikmat yang diberikan kepada kamu iaitu dengan mentaati dan melaksanakan segala perintah Allah swt dan meninggalkan segala larangannya, kerana sedikit dari kalangan hambanya yang banyak bersyukur kepada Allah swt dan Nabi Daud a.s dan keluarganya adalah tergolong dalam golongan yang sedikit itu.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Hakikat Syukur<br />
<br />
<br />
Kesyukuran yang hakiki didirikan di atas lima asas utama. siapa mengamalkannya serta menghayatinya maka dia adalah seorang yang benar-benar bersyukur iaitu;<br />
<br />
<br />
1. Merendahkan diri terhadap yang disyukuri iaitu Allah swt, kerana orang yang bersyukur tidak akan sombong, tidak akan takabbur samada kepada Allah swt atau sesama manusia.<br />
<br />
<br />
2. Rasa cinta terhadap Pemberi Nikmat iaitu Allah swt, kerana rasa bersyukur itu tidak akan timbul pada diri seseorang yang tidak suka, benci terhadap orang lain, lebih-lebih lagi kepada Allah swt.<br />
<br />
<br />
3. Mengakui seluruh nikmat yang Dia berikan. Tanpa pengiktirafan terhadap jasa, kebaikan nikmat yang diberikan bagaimana rasa syukur akan timbul dalam diri seseorang apabila merasakan apa yang dimilki adalah dari dirinya sendiri, tanpa bantuan orang lain.<br />
<br />
<br />
4. Senantiasa memuji-Nya atas nikmat yang diberikan kerana gembiranya, penghargaannya, pengiktirafannya terhadap nikmat yang diberikan.<br />
<br />
<br />
5. Tidak menggunakan nikmat untuk sesuatu yang dibenci oleh Allah kerana ia akan mengundang kemarahan, kebencian orang yang memberi nikmat, dan tindakan tersebut menunjukkan sikap biadap, tidak mengharmati serta tidak mengenang jasa.MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-9160062511701558202011-01-10T22:01:00.000-08:002011-01-12T22:04:29.902-08:00CARA MENSYUKURI NIKMAT<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="FI" style="font-family: Arial; font-size: 20pt;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="color: #505050; font-family: Arial;">Jamaah pengajian haji kecamatan kota Boyyolali yang dimuliakan Allah,</span><span lang="FI"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 14pt; text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Kita tahu , Allah senantiasa mencurahkan nikmat-Nya kepada kita dengan bermacam-macam nikmat yang tidak dapat dihitung banyaknya. Allah telah melimpahkan kepada kita sedemikian banyak ni’mat. Jauh lebih banyak nikmat yang telah kita terima dibandingkan kesadaran dan kesanggupan kita untuk bersyukur. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam QS Ibrahim,14: 34:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 14pt; text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">dan Surat An-Nahl,16:18 sbb;</span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 14pt; text-align: right;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;"><b><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 24pt;">وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا</span></b><span style="font-family: Arial;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 14pt; text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;"><br />
</span><b><i><span style="color: #505050; font-family: Arial; font-size: 11pt;">"Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tak dapat menentukan jumlahnya."</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt; text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;"><br />
Sungguh benar firman Allah, andaikata kita hitung satu per satu, nikmatnya mata hingga kita bisa memandang indahnya dunia, nikmatnya telinga hingga kita bisa mendengarkan suara-suara yang indah, juga organ-organ tubuh kita: jantung, paru-paru, ginjal, otak, dll, itu adalah nikmat yang diberikan Allah kepada kita secara gratis tanpa membayarnya. Alloh menyediakan ruang udara yg komplit dimana kita bisa bernafas dengan lega. Alloh menyediakan Binatang ternak dan tumbuh2an utk manusia. Alloh juga menyediakan air, api dan angin serta galian tambang utk kepentingan manusia, Alloh berfirman :</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 20pt;">وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ</span><span style="font-size: 20pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;">Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur</span></i></b><i><span style="font-family: Arial; font-size: 11pt;"> (QS.Al-A'raf,7:10)</span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;"><br />
Dan yang tidak kalah penting adalah nikmat Allah berupa umur dan rizki yang telah kita peroleh sampai saat ini. Adakah kita pernah mengira bahwa nikmat rizki dan umur bukan berasal dari Allah? Tidak, semua yang ada di alam raya ini adalah milik Allah</span><b><i><span style="color: #505050; font-family: Arial; font-size: 11pt;">, </span></i></b><span style="color: #505050; font-family: Arial;">termasuk diri kita sendiri, adapun umur dan rizki yang kita peroleh hanyalah titipan Allah belaka yang nantinya harus kita pertanggungjawabkan kepada yang memilikinya, yaitu Allah SWT.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="color: #505050; font-family: Arial; font-size: 11pt;">Lillahi maa fissamaawaati wa maa fil ardl, semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah.</span></i></b><br />
<b><i><span style="color: #505050; font-family: Arial; font-size: 11pt;">Wa tarzuqu man tasyaa’u bighairi hisaab , Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki (QS. Ali Imran,3: 27)</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="color: #505050; font-family: Arial; font-size: 11pt;">Stuma latus alunna yauma idzin ’aninna’im</span></i></b><b><i><span style="color: black; font-family: Arial; font-size: 11pt;"> , kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (di dunia)</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;"><br />
Jamaah rahimakumullah,</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Apabila kita mencoba untuk menelaah lebih dalam nikmat yang besar itu pada dasarnya tergantung pada nikmat yang kecil, <b><i>la insyakartum laa adziidanakum</i></b>, <b>barangsiapa yang mensyukuri nikmat yang ada, maka Allah akan menambah nikmat baginya.</b> Oleh karena itu, janganlah merisaukan nikmat-nikmat lain yang belum kita miliki, jangan khawatir oleh aneka nikmat yang kita inginkan dan belum kita peroleh, tetapi risaukanlah nikmat yang ada dan belum sempat kita mensyukurinya. </span><span lang="FI" style="color: #505050; font-family: Arial;">Boleh jadi kita sering panik ketika memikirkan sesuatu yang belum kita miliki. Padahal, kita seharusnya lebih memikirkan tentang bagaimana caranya kita mensyukuri apa yang telah kita nikmati. Sebab rasa syukur itulah yang akan mencukupkan dan akan mengundang nikmat-nikmat berikutnya.</span><span lang="FI"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="color: #505050; font-family: Arial;">Alangkah berat jika kita merasa memiliki sesuatu, namun kita takut kehilangan atau takut tersaingi. Salah satu yang bisa membuat kita tenteram dan menjadi ahli syukur adalah kita sadar bahwa semua nikmat yang ada ini hanya berasal dari Allah dan hanya milik Allah. Adapun kita, hanya sekedar tertitipi beberapa saat saja. (kita bisa belajar dari falsafah tukang parkir, yg tdk sombong dan tdk sakit hati)<br />
Oleh karena itu, adanya nikmat jangan membuat kita menjadi sombong, karena itu hanya titipan saja. Sedikitnya nikmat juga tidak usah membuat kita minder, karena itu juga titipan. Melihat orang lain yang tertitipi banyak rizki, kita sama sekali tak perlu dengki. Sebab yang mereka miliki juga hanya titipan dari Allah. Maka sesuka Allah-lah membagikan nikmat kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. dan kalau diambil oleh Allah pun tak perlu sakit hati, karena memang semua nikmat itu hanyalah titipan dari-Nya.</span><span lang="FI"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="FI" style="color: #505050; font-family: Arial;"><br />
</span><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Jama’ah rahimakumullah,</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Ada</span><span style="color: #505050; font-family: Arial;"> 5 cara mensyukuri nikmat yang perlu kita renungkan.<br />
<b>Pertama,</b> yakinlah bahwa semua nikmat itu hanya milik Allah. Tiada pembagi nikmat selain Dia.</span><b><span style="font-family: Tahoma;"> </span></b><b><i><span style="font-family: Arial;">Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;"><br />
<b>Kedua,</b> ucapkanlah alhamdulillahirabbil'alamin, segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Pujilah Allah dalam segala situasi karena apa yang kita nikmati sesungguhnya melampaui apa yang menyusahkan diri kita. Jika kita dipuji orang sebagai orang yang cerdas, maka sebenarnya otak dan pikiran kita adalah ciptaan Allah. Dan kalau pun dipuji karena harta, itu pun ternyata hanya titipan belaka. Ucapan alhamdulillah yang muncul dari pikiran yang sehat dan sempurna pasti akan menimbulkan rasa syukur atas segala nikmat yang diterimanya dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Ucapan subhanallah akan menimbulkan rasa takjub yang mengartikan kebesaran Allah serta kesucian-Nya dari segala sifat-sifat kekurangan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 18pt; text-align: justify; vertical-align: baseline;"><b><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Ketiga</span></b><span style="color: #505050; font-family: Arial;">, berterima kasih kepada orang yang menjadi jalan nikmat. Harus disadari bahwa selain syukur kepada Allah, kita juga harus bersyukur kepada manusia sebab </span><span style="color: #333333; font-family: inherit;">Nabi<span class="apple-converted-space"> </span><i><span style="border: 1pt none windowtext; padding: 0cm;">Shallallahu’alaihi Wasallam<span class="apple-converted-space"> </span></span></i>bersabda:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 18pt; text-align: justify; vertical-align: baseline;"><b><i><span style="border: 1pt none windowtext; color: #333333; font-family: Arial; padding: 0cm;">“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah”</span></i></b><span class="apple-converted-space"><i><span style="border: 1pt none windowtext; color: #333333; font-family: inherit; padding: 0cm;"> </span></i></span><span style="color: #333333; font-family: inherit;">(HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;"><br />
<b>Keempat,</b> jadikanlah setiap kenikmatan itu menjadi jalan pendekat kepada Allah. Orang yang bersyukur karena memiliki keturunan, maka ia mempunyai kewajiban untuk mendidik anak keturunannya itu agar dekat dengan Allah, agar menjadi anak yang sholeh berbhakti kepada kedua orangtuanya. Orang yang bersyukur karena memiliki profesi sebagai guru atau pendidik, maka profesi itu harus dijalani dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu dari anak ddidik, justru sebaliknya harus membekali mereka dengan ilmu untuk masa depannya, itulah investasi kita di alam kubur sebagai amal jariyah. Orang yang bersyukur karena memiliki kekayaan, maka ia gunakan hartanya dijalan Alloh SWT. Walaupun seluruh kata-kata kita kerahkan untuk memuja dan memuji-Nya, pastilah tidak sebanding dengan keagungan, kebesaran, dan limpahan nikmat yang telah Allah limpahkan kpd kita.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Bentuk rasa syukur <b>kelima yg </b>berhubungan dengan <b>nikmat umur</b> yang telah kita jalani , yaitu kita <b>sering-seringlah mengevaluasi diri, menghisab diri sendiri sebelum kita dihisab di hari perhitungan nanti di akhirat.</b></span><br />
Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata, “<b><i>Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab oleh Allah SWT kelak. Bersiaplah menghadapi Hari Perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya hisab pada Hari Kiamat akan terasa ringan bagi orang yang selalu menghisab diri ketika di dunia.”</i></b> (Lihat: Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jamî’ at-Tirmidzi).<b><span style="color: #505050; font-family: Arial;"> </span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Umur yang kita pakai sekarang ini akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah untuk apa saja umur kita habiskan. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Kita bersyukur bahwa kita masih bisa diberi kesempatan untuk memasuki tahun baru Hijrah 1432 H dan besok , Insya Alloh kita akan memasuki tahun baru Masehi tahun 2011. yg pada hakekatnya sesungguhnya umur kita sudah berkurang satu tahun atau jarak ke hari kiamat semakin dekat satu tahun. Oleh karena itu mumpung kita masih hidup maka gunakanlah momen pergantian tahun ini untuk memperbaiki diri, untuk bertobat dan melakukan perubahan/hijrah dari hal-hal yg merugikan kepada hal2 yg menguntungkan, antara lain :</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">1.</span><span style="color: #505050; font-size: 7pt;"> </span><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Dari tidak tahu menjadi tahu, maka lebih giatlah menuntut ilmu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="SV" style="color: #505050; font-family: Arial;">2.</span><span lang="SV" style="color: #505050; font-size: 7pt;"> </span><span lang="SV" style="color: #505050; font-family: Arial;">Dari tidak sadar menjadi sadar akan arti dan tujuan hidup dari mana mau kemana. Alloh berfirman <b>: <i>”Wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduuni”</i></b></span><b><i><span lang="SV" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 24pt;"> </span></i></b><b><i><span lang="SV" style="font-family: Arial;">Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.Adz-Dzaariyaat,51:56)</span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="color: #505050; font-family: Arial;">Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial; font-size: 11pt;">”<b>Aku ciptakan kalian agar kalian berdzikir kepada-Ku sebanyak-banyaknya, beribadah kepada-Ku selama-lamanya, dan agar kalian bertasbih kepada-Ku setiap pagi dan petang hari</b>."</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">3.</span><span style="color: #505050; font-size: 7pt;"> </span><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Dari perbuatan Fajir/fujuro/durhaka/syirik/munafik/kufur (masih suka maksiat) kepada taqwa sebenar2 taqwa (ikhlas, ridho dan Taslim)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">4.</span><span style="color: #505050; font-size: 7pt;"> </span><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Dari ibadah yg sekenanya (hanya gugur kewajiban) ke pada ibadah yg lebih ikhlas, khusyuk , istiqomah , benar dan optimal.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Rasul Bersabda : </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i>Ambillah kesempatan lima sebelum lima: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum melarat, hidupmu sebelum mati, dan waktu senggangmu sebelum sibuk</i></b>. (HR. Al Hakim dan Al-Baihaqi)</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: times;">Nabi Saw bersabda: </span></b><b><i><span style="font-family: times; font-size: 14pt;">"Ada dua nikmat yang mayoritas manusia terperdaya karenanya, yaitu kesehatan dan kesempatan" (HR. Bukhari).</span></i></b><b><span style="font-family: times; font-size: 14pt;"> </span></b><span style="font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Maka janganlah sia-siakan kesempatan dari sisa umur yg kita miliki untuk beribadah dan meningkatkan ketaatan kepada Alloh SWT.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="color: #505050; font-family: Arial;">Kalo orang lain menetapkan <b>"waktu adalah uang"</b> maka kita sebagai muslim harus menetapkan <b>” Waktu itu adalah Ibadah ” Ato ”Waktu itu adalah pahala”</b></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i> Rasul bersabda ;Kebahagiaan yang paling bahagia ialah panjang umur dalam ketaatan kepada Allah</i></b>. <span lang="FI">(HR. Ad-Dailami dan Al Qodho'i)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-3963429408379433852011-01-05T08:08:00.000-08:002011-01-05T08:08:03.115-08:00Rasul di utus untuk rahmatan lil A'lamin<h2 style="text-align: center;"><span style="font-size: small;"><span style="color: #003300;"><strong>(Judul asli : Islam Syariat Semesta Alam)</strong></span></span></h2><div style="text-align: right;">عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنَّهُ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ</div>Dari Abu Hurairah <em>radhiyallahu ‘anhu</em>, dari Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>, bahwasanya beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> bersabda: “<em>Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! Tidaklah mendengar tentangku (diutusnya aku) seorangpun dari umat ini, baik ia seorang Yahudi maupun Nashrani, kemudian ia mati dan belum beriman dengan apa yang aku bawa (Syari’at Islam) melainkan ia termasuk penghuni neraka</em>.” <strong>HR. Muslim</strong><br />
<span id="more-563"></span>Pembaca yang dirahmati Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, kali ini kita akan mengkaji sebuah hadits Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> agar kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting darinya. Sebuah hadits sahih, yang tidak ada keraguan padanya karena telah diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim <em>rahimahullah</em> dalam kitab Shahih-nya; tepatnya pada bab “Wajibnya Beriman kepada Risalah Nabi Kita Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> bagi Seluruh Manusia dan Terhapusnya Agama-agama dengan Agamanya”. Dari shahabat yang mulia Penghafal Islam Abu Hurairah <em>radhiyallahu ‘anhu</em>, semoga Allah meridhainya.<br />
Hadits ini adalah salah satu hadits dari hadits-hadits Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> yang berbicara tentang salah satu prinsip utama dalam Islam, yaitu wajibnya beriman kepada risalah yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> bahwa risalah beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> berlaku secara umum. Hal ini merupakan perwujudan syah<span style="text-decoration: underline;">a</span>dah (persaksian) bahwa Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> adalah benar-benar utusan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.<br />
<strong>Keumuman Risalah Muhammad </strong><strong><em>shallallahu alaihi wa sallam</em></strong><br />
Pembaca yang dirahmati oleh Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, dalam hadits yang mulia ini terdapat sebuah berita dari Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> yang mengandung peringatan dan ancaman sebagai penghuni neraka kepada mereka yang tidak mau beriman serta tunduk kepada syari’at Islam yang dibawa oleh beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> dalam keadaan paham dan mengerti bahwa apa yang dibawa oleh beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> adalah haq (kebenaran). Baik mereka dari kalangan umat Islam itu sendiri, atau dari selain umat Islam seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, dan yang lainnya. Karena Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> kita diutus kepada seluruh umat dan syariatnya berlaku bagi seluruh manusia tanpa terkecuali, apakah itu bangsa Arab atau (non-Arab), berkulit putih, hitam, atau merah dari kalangan budak atau yang merdeka. Demikian pula berlaku kepada umat-umat yang beragama dengan syariat para nabi terdahulu, sebagaimana dalam hadits ini. Lebih dari itu, Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> menegaskan (artinya):<br />
“<em>Katakanlah, (wahai Muhammad), wahai sekalian manusia, sungguh aku adalah utusan Allah kepada kalian semuanya</em>.” <strong>(Al-A’raf: 158)</strong><br />
Dalam sabdanya yang lain Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> menyatakan:<br />
<div style="text-align: right;">كَانَ النَّبِىُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً</div>“<em>Sesungguhnya para rasul sebelumku diutus hanya kepada kaum mereka semata, sedangkan aku diutus kepada manusia seluruhnya</em>.” (<strong>HR. Al-Bukhari</strong> dan <strong>Muslim</strong>, dari shahabat Jabir bin Abdillah <em>radhiyallahu ‘anhu</em>)<br />
Bahkan keumuman risalah Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> kita tidak hanya kepada manusia semata akan tetapi meliputi golongan jin juga, sebagaimana dijelaskan para ulama berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah (Al Hadits).<br />
Berkata Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab <em>rahimahullah</em>: “<em>Allah telah mengutusnya (Muhammad </em><em>shallallahu alaihi wa sallam) kepada seluruh manusia dan mewajibkan ketaatan kepada Beliau shallallahu alaihi wa sallam bagi seluruh ats-tsaqolain (jin dan manusia)</em>.” (<strong>Lihat Tsal<span style="text-decoration: underline;">a</span>tsatul Ush<span style="text-decoration: underline;">u</span>l</strong>)<br />
Juga Al-Imam Ath-Thohawi <em>rahimahullah</em> berkata: “<em>Dan Beliau </em><em>shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang nabi yang diutus kepada seluruh bangsa jin dan manusia dengan kebenaran dan petunjuk, serta pelita dan cahaya</em>.” (<strong>Lihat ‘Aq<span style="text-decoration: underline;">i</span>dah Ath-Thoh<span style="text-decoration: underline;">a</span>wiyyah</strong>)<br />
<strong>Bantahan Syubhat bahwa Nabi Muhammad </strong><strong><em>shallallahu alaihi wa sallam</em></strong><strong> hanya diutus kepada bangsa Arab</strong><br />
Dari penjelasan di atas terbantahlah sebuah syubhat (kerancuan berpikir, red) yang dilontarkan oleh sebuah kelompok/aliran dari kaum Nashara bahwa Rasulullah Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> hanya diutus kepada bangsa Arab saja, sehingga mereka mengingkari kenabian beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> kepada selain bangsa Arab. Maka ini sesungguhnya kekufuran yang nyata kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> sekaligus pendustaan terhadap Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dan rasul-Nya <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> berdasarkan dalil-dalil yang pasti dan jelas tentang keumuman risalah Nabi Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>. Padahal kalau mereka (kaum Nashara) mau jujur bahwasanya berita tentang akan diutusnya Nabi Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> sebagai Rasul yang terakhir telah termaktub dalam kitab mereka Injil, bahkan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> mengisahkan ucapan Nabi Isa <em>‘alaihis salam</em> sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya):<br />
“<em>Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata</em>.”" <strong>(Ash-Shoff: 6)</strong><br />
Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di <em>rahimahullah</em>: “Dia adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththolib, seorang nabi dari Bani Hasyim.” (<strong>Lihat Tafsir As-Sa’di</strong>, pada tafsir surat Ash-Shoff ayat ke-6, karya Asy-Syaikh As-Sa’di <em>rahimahullah</em>).<br />
Allah telah mengabarkan bahwa mereka (Yahudi dan Nashara) benar-benar mengenal Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> berfirman (artinya):<br />
“<em>Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui</em>.” <strong>(Al-Baqarah: 146)</strong><br />
Lebih dari itu, telah disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi Isa <em>‘alaihis salam</em> akan turun ke bumi pada akhir <em>z</em>aman, dan akan menghapus agama Nashrani, serta berhukum dengan syari’at Nabi Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah <em>radhiyallahu ‘anhu</em> berkata: “Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> telah bersabda :<br />
<div style="text-align: right;">وَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ -صلى الله عليه وسلم- حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ</div>“<em>Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! sungguh telah dekat (waktu) turunnya Isa bin Maryam kepada kalian sebagai hakim yang adil, akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan tidak menerima jizyah/upeti. Dan (saat itu) harta berlimpah ruah sehingga tidak ada seorangpun yang mau menerimanya</em>.” <strong>(Muttafaqun ‘alaihi)</strong><br />
Al-Hafi<em>z</em>h Ibnu Hajar <em>rahimahullah</em> ketika menjelaskan sabda Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> “menghancurkan salib dan membunuh babi” berkata: “Yakni benar-benar akan menghapus agama Nashraniyah dengan menghancurkan salib dan menghilangkan keyakinan orang-orang Nashara dalam pengultusan Beliau (Nabi Isa) <em>‘alaihis salam</em>.” (<strong>Lihat Fathul B<span style="text-decoration: underline;">a</span>r<span style="text-decoration: underline;">i</span></strong>, Kit<span style="text-decoration: underline;">a</span>b Ah<span style="text-decoration: underline;">a</span>di<span style="text-decoration: underline;">t</span>s Al-Anbiy<span style="text-decoration: underline;">a</span>`, B<span style="text-decoration: underline;">a</span>b Nu<em>z</em><span style="text-decoration: underline;">u</span>l ‘<span style="text-decoration: underline;">I</span>s<span style="text-decoration: underline;">a</span> bin Maryam <em>‘alaihis salam</em>). Dalam riwayat lain dalam Shah<span style="text-decoration: underline;">i</span>h Muslim dengan lafa<em>z</em>h:<br />
<div style="text-align: right;">وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ : قَالَ ابْنُ أَبِى ذِئْبٍ تَدْرِى مَا أَمَّكُمْ مِنْكُمْ قُلْتُ تُخْبِرُنِى. قَالَ فَأَمَّكُمْ بِكِتَابِ رَبِّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم-.</div>“Dan ia (Nabi Isa bin Maryam) pemimpin bagi kalian.”<br />
Ibnu Abi D<em>z</em>i’b (perawi hadits) berkata: “Tahukah kamu dengan apa dia memimpin kalian?” Aku berkata (muridnya Ibnu Abi D<em>z</em>i’b): “Beritahukanlah kepadaku!” Maka ia menjawab: “Dengan Al-Qur`an dan Sunnah (ajaran) Nabi kalian.”<br />
Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi <em>rahimahullah</em> meletakkan sebuah bab dalam Shah<span style="text-decoration: underline;">i</span>h Muslim dengan judul:<br />
Bab Penjelasan tentang Turunnya Nabi Isa bin Maryam <em>‘alaihis salam</em> (di akhir zaman sebagai hakim) berdasarkan syari’at Nabi kita Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> berfirman (artinya):<br />
“<em>Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Nabi Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka</em>.” <strong>(An-Nisa`: 159)</strong><br />
Al-Imam Ibnu Jarir <em>rahimahullah</em> meriwayatkan sebuah atsar (perkataan shahabat) dari shahabat Abdullah bin Abbas <em>radhiyallahu ‘anhuma</em>, beliau berkata: “Demi Allah! Sesungguhnya dia (Isa bin Maryam <em>‘alaihis salam</em>) sekarang masih hidup. Tetapi jika ia turun (ke bumi), maka mereka semuanya (Yahudi dan Nashara) akan beriman kepadanya.” (Fathul B<span style="text-decoration: underline;">a</span>r<span style="text-decoration: underline;">i</span>, Kit<span style="text-decoration: underline;">a</span>b Ah<span style="text-decoration: underline;">a</span>di<span style="text-decoration: underline;">t</span>s Al-Anbiy<span style="text-decoration: underline;">a</span>`, B<span style="text-decoration: underline;">a</span>b Nu<em>radhiyallahu ‘anhu</em><span style="text-decoration: underline;">u</span>l ‘<span style="text-decoration: underline;">I</span>s<span style="text-decoration: underline;">a</span> bin Maryam <em>‘alaihis salam</em>)<br />
Dari beberapa hadits di atas, kita mengetahui bahwa syariat beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> berlaku bagi seluruh umat dan suku bangsa, dan syariat beliau berlaku sepanjang zaman, dari zaman ketika beliau diutus sampai akhir zaman (hari kiamat). Di antara dalil yang menunjukkan bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> juga berlaku bagi seluruh umat ialah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> bersabda:<br />
“<em>Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Seandainya Nabi Musa ‘alaihis salam hidup, maka tidak boleh baginya kecuali mengikuti (syariat)ku</em> .”<br />
Maka sangat batil ucapan yang menyatakan bahwa sebagian syariat Islam yang dibawa oleh Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> hanya cocok di masa dahulu ketika Beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> hidup. Adapun pada masa ini perlu adanya revisi atau kaji ulang agar lebih sesuai dengan zaman dan memberikan maslahah (kebaikan, red) kepada umat.<br />
Karena secara tidak langsung orang yang mengucapkan ucapan ini telah menghukumi bahwa syariat Islam tidak relevan dengan <em>z</em>aman dan tidak berlaku secara umum. Dan hal ini tentunya bertentangan dengan dalil-dalil yang telah kita sebutkan serta penjelasan-penjelasan para ulama. Dan orang yang seperti ini benar-benar telah mencela Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, karena konsekuensi dari ucapan tersebut (yang pada hakekatnya adalah syubhat) bahwa Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> tidak mengetahui apa yang terjadi pada masa ini. Subh<span style="text-decoration: underline;">a</span>nall<span style="text-decoration: underline;">a</span>hi ‘amm<span style="text-decoration: underline;">a</span> yaq<span style="text-decoration: underline;">u</span>l<span style="text-decoration: underline;">u</span>n! (Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan).<br />
Sungguh hal ini adalah sikap lancang dan berani kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>. Kita berlindung kepada-Nya dari sikap yang seperti ini.<br />
<strong>Kewajiban Tunduk dan Taat kepada Syari’at Nabi Muhammad </strong><strong><em>shallallahu alaihi wa sallam</em></strong><br />
Dengan demikian, maka wajib bagi orang-orang Yahudi dan Nashara, untuk beriman kepada Muhammad <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>, serta tunduk dan taat kepada syari’at beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> jika mereka menginginkan keselamatan di akhirat kelak, dan jika mereka mengaku sebagai pengikut Nabi Musa dan Isa <em>‘alaihumas salam</em>, serta mengklaim bahwa mereka berpegang kepada Taurat dan Injil yang telah Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> turunkan kepada kedua Nabi yang mulia tersebut.<br />
Terkhusus pula bagi kaum muslimin, wajib untuk benar-benar beriman kepada syariat Nabi mereka secara k<span style="text-decoration: underline;">a</span>ffah (menyeluruh, red) dalam qalbu (hati)nya, diucapkan dengan lisan, kemudian dibuktikan dengan amal perbuatan. Dan juga senantiasa mengagungkan syariat Islam dengan cara mempelajari dan memahaminya, kemudian mengamalkan dalam kehidupannya. Bukan sebatas pemanis bibir dengan hanya meneriakkannya di jalan-jalan, mimbar-mimbar, atau dalam sebuah karya tulis, majalah, buletin, dan yang semisalnya tentang penerapan Syari’at Islam namun samasekali tidak ada perwujudannya, baik dalam sekup kecil dirinya dan keluarganya, apalagi dalam tatanan negara. Sebagaimana peribahasa: ‘Jauh panggang dari api’, tindakan mereka tidak sesuai dengan maksudnya. Oleh karena itu, tidak ada jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> secara k<span style="text-decoration: underline;">a</span>ffah (menyeluruh). Jangan sampai menjadi seperti sebuah ungkapan:<br />
<div style="text-align: right;">تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا</div><div style="text-align: right;">إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِيْ عَلَى الْيَبَسِ</div>“Anda menginginkan keselamatan, namun Anda tidak menempuh jalan-jalannya.<br />
Sesungguhnya bahtera tidak akan pernah bisa berlayar di atas (tempat) yang kering.”<br />
<strong><em>Wall<span style="text-decoration: underline;">a</span>hul Muwaffiq</em></strong>.MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-58648320946346985312011-01-05T08:02:00.000-08:002011-01-05T08:02:11.223-08:00BAGAIMANA MENGAMALKAN KANDUNGAN ASYHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAH<h3 style="text-align: center;">BAGAIMANA MENGAMALKAN KANDUNGAN ASYHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAH</h3>Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah subhanahu wata’ala, sebenarnya ikrar dua kalimat syahadat yang sering kita ucapkan itu tidak cukup sekedar di lisan saja. Namun di dalamnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipenuhi. Bila seseorang tidak sanggup memenuhi kosekuensi- konsekuensi apa yang telah diikrarkan maka ibarat sebuah pengakuan tanpa bukti. Sehingga sia-sialah (percuma) pengakuannya itu. Bahkan hal itu justru menambah hina bagi dirinya, ia telah mengikrarkan sesuatu yang pada kenyataannya justru amalannya menyelisihi apa yang ia ikrarkan. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah memberikan peringatan kepada kita kaum mukminin yang tidak mau beramal dengan perkara yang telah kita ucapkan dan kita ikrarkan? Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):<br />
<strong><em>“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengucapkan apa-apa yang tidak kalian lakukan? Sungguh besar kemurkaan Allah jika kalian mengucapkan perkara-perkara yang kalian sendiri tidak mau mengamalkannya.”</em></strong> (Ash Shaff: 2-3) Kita semua telah tahu bahwa dua kalimat syahadat merupakan kalimat yang mulia yang dengannya akan terbedakan antara muslim dan kafir. Ketika seseorang telah menyatakan Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah maka di antara konsekuensi yang harus dia lakukan adalah dia harus mengikhlaskan dan mempersembahkan seluruh peribadatannya hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Berdo’a, istighotsah, tawakkal, meminta rizki, takut, menyembelih hewan kurban, dan seluruh jenis ibadah lainnya harus dipersembahkan kepada Allah subhanahu wata’ala semata.<br />
Demikian juga dengan syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah, di dalamnya terkandung beberapa konsekuensi yang harus kita perhatikan dan kita amalkan. Dan Insya Allah pada buletin edisi kali ini, bahasan kita lebih terfokus pada kalimat yang kedua dari Asy Syahadatain tersebut. Karena hal ini merupakan perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan kita amalkan.<br />
<span style="color: #009900;"><strong>Dua Pokok Penting</strong></span><br />
Ketahuilah, wahai saudaraku seislam dan seiman, kalimat syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah (atau dengan redaksi yang lebih lengkap: Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Wa Rasuluhu) itu terkandung padanya dua pokok penting yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dua pokok penting itulah yang Allah subhanahu wata’ala ingatkan dalam ayat-Nya (artinya):<br />
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diberikan wahyu kepadaku bahwa sesungguhnya sesembahan kalian itu adalah sesembahan Yang Esa.” (Al Kahfi: 110)<br />
Demikian pula Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam juga ingatkan dalam haditsnya. Dari shahabat ‘Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:<br />
<strong><em>“Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya ….”</em></strong> (Muttafaqun ‘Alaihi)<br />
Dari ayat dan hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa dua pokok penting tersebut adalah:<br />
Pokok pertama; bahwa beliau adalah manusia biasa seperti kita. Beliau mengalami apa yang selayaknya dialami pada seorang manusia. Mengalami sakit, luka, haus, lapar dan selainnya dari sifat-sifat manusia. Beliau pun tidak memiliki sifat-sifat ilahiyyah. Beliau mengajarkan kepada para shahabatnya untuk memohon kepada Allah subhanahu wata’ala dari apa yang mereka butuhkan. Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berdo’a sebelum salam pada shalat shubuh dengan do’a:<br />
<strong>Allahumma inni as'aluka ilman nafi'an wa 'amalan mutaqobbalan wa rizqon thoyyiban</strong><br />
Demikian pula ketika datang musim kemarau yang berkepanjangan, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala supaya diturunkan hujan dan juga pernah shalat istisqa’ bersama para shahabatnya.<br />
Ini semua adalah pengajaran Nabi kepada umatnya bahwa yang berhak dimintai pertolongan itu hanyalah Allah subhanahu wata’ala semata. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu adalah seorang hamba yang menghamba kepada Allah subhanahu wata’ala.<br />
Lalu pantaskah kita meminta rizki, berdo’a, meminta untuk dihilangkan kesulitan kita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan (artinya):<br />
<strong><em>Katakanlah (wahai Muhammad ?): aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”</em></strong> (Al An’am: 50)<br />
Pokok kedua; bahwa beliau adalah Rasulullah (utusan Allah subhanahu wata’ala). Allah subhanahu wata’ala telah memilih Muhammad bin ‘Abdillah sebagai utusan-Nya. Allah subhanahu wata’ala berhak memilih siapa di antara hamba-Nya yang terpilih untuk menyampaikan risalah dan syari’at-Nya ini kepada umat manusia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):<br />
<em><strong>“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.”</strong></em> (Al An’am: 124)<br />
Dalam kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul maka kedudukannya itu tidak boleh disamakan dengan hamba Allah subhanahu wata’ala yang lain. Perintah beliau harus ditaati, nasehat dan petuah beliau harus didengarkan dan diamalkan, sabda-sabda dan kabar yang beliau sampaikan haruslah diterima dan tidak boleh didustakan, karena setiap ucapan yang keluar dari lisan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan wahyu sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): <em><strong>“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”</strong></em> (An Najm: 3-4)<br />
Dua pokok inilah yang seyogyanya dipahami oleh setiap muslim sehingga dia tidak terjatuh ke dalam perbuatan Ifrath (berlebihan dalam mengkultuskan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sehingga memposisikan beliau melebihi posisi dan kedudukannya sebagai hamba Allah), dan tidak pula terjatuh ke dalam perbuatan Tafrith (meremehkan dan merendahkan kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul sehingga dia cenderung untuk menolak atau meragukan tentang kebenaran risalah beliau).<br />
Perbuatan seperti inilah yang pernah diperingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah sabdanya:<br />
<em><strong>“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku adalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah: (Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.”</strong></em> (HR. Al Bukhari, Muslim)<br />
<strong><span style="color: #006600;">Konsekuensi yang Harus Diperhatikan</span></strong><br />
Di antara konsekuensi dari pernyataan Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah adalah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama, yaitu:<br />
<strong><span style="color: blue;">1. Mentaati Seluruh Perintahnya</span></strong><br />
Sudahkah kita berupaya untuk mendengar dan mentaati seluruh nasehat dan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasul-Nya sebagai qudwah (teladan) bagi umatnya? Meneladani prilaku dan akhlaknya, mengikuti petunjuknya, mematuhi perintahnya, dan menelusuri jejak dan sunnahnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):<br />
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah.” (An Nisa’: 64)<br />
“Dan apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu, maka ambillah (laksanakanlah) …” (Al Hasyr: 7)<br />
Demikian pula sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:<br />
<strong><em>“Dan setiap apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian.”</em></strong> (Muttafaqun ‘Alaihi)<br />
Inilah bukti kasih sayang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu kepada mereka melainkan perintah itu dibatasi dengan kemampuan yang mereka miliki.<br />
Tetapi, tahukah anda bahwa siapa saja dari umat beliau yang berupaya untuk mengikuti dan mentaati Nabinya dengan ikhlas, maka sungguh dia akan mendapatkan sekian banyak keutamaan yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya ??<br />
Bukankah anda ingin untuk mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala? Kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala itu hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mau mengikuti dan mentaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman-Nya (artinya): <em><strong>“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah pasti akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.”</strong></em> (Ali ‘Imran: 31)<br />
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:<br />
<strong><em>“Setiap umatku akan masuk Al Jannah (surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya: Siapa orang yang enggan itu wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau bersabda: Barangsiapa yang mentaatiku, dia akan masuk Al Jannah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.”</em></strong> (HR. Al Bukhari)<br />
<strong><span style="color: blue;">2. Membenarkan Seluruh Berita yang Disampaikan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam</span></strong><br />
Sudahkah kita membenarkan seluruh berita yang disampaikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Pernahkah terbetik di benak kita perasaan ragu akan berita yang disampaikan beliau ??<br />
Pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala memuliakan kita, jangan ada sedikitpun perasaan ragu apalagi sampai mengingkari berita-berita yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tidaklah beliau bersabda melainkan itu merupakan sebuah wahyu yang Allah subhanahu wata’ala wahyukan kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam . Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):<br />
<strong><em>“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”</em></strong> (An Najm: 3-4)<br />
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Ash Shadiqul Mashduq (yang jujur dan bisa dipercaya), setiap kabar dan berita yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, baik kabar tentang kejadian umat terdahulu maupun kejadian yang dialami Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri seperti Isra’ dan Mi’raj, dan juga kejadian yang akan datang seperti akan datangnya hari kiamat, akan adanya hari pembalasan, dan yang lainnya, maka wajib bagi kaum mukminin untuk membenarkan dan mengimaninya.<br />
Pantaskah bagi seorang muslim untuk meragukan dan apalagi mendustakan segala berita dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau pernah bersabda:<br />
<em><strong>“Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (Allah)? Senantiasa datang kepadaku kabar dari langit pagi dan petang.”</strong></em> (Muttafaqun ‘Alaihi)<br />
<strong><span style="color: blue;">3. Menjauhi Semua Larangannya</span></strong><br />
Sudahkah kita meninggalkan dan menjauhi setiap perkara yang dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Berapa banyak peringatan dan larangan dari beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yang kita langgar dan kita selisihi? Pertanyaan ini hendaknya menjadi renungan bagi kita semua karena sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan dalam Al Qur’an (artinya):<br />
<em><strong>“… dan apa yang dilarangnya (Rasulullah), maka tinggalkanlah.” </strong></em>(Al Hasyr: 7)<br />
Demikian pula sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam :<br />
<em><strong>“Setiap yang aku larang bagi kalian, maka jauhilah …”</strong></em> (Muttafaqun ‘Alaihi)<br />
Para pembaca yang semoga Allah memberikan hidayah kepada kita, kalau masihkah ada di antara kita yang menyelisihi apa-apa yang dilarang oleh junjungan kita shalallahu ‘alaihi wasallam , maka hendaknya segera bertaubat dan beristighfar sebelum ajal menjemputnya. Rahmat Allah itu luas, pintu taubat masih terbuka lebar-lebar. Padahal Allah subhanahu wata’ala itu benar-benar mencintai hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat kepada-Nya. Karena dikhawatirkan kalau sekiranya kita menyelisihi dan melanggar sabda Rasul-Nya, Allah akan menurunkan adzab-Nya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya (artinya):<br />
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) takut akan ditimpa fitnah (bencana) dan adzab yang pedih.” (An Nur: 63)<br />
<strong><span style="color: blue;">4. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala Sesuai dengan Tuntunan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam</span></strong><br />
Sudahkah ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan beliau ?? Sudahkah amal ibadah yang kita lakukan sesuai dengan bimbingan beliau ?? Tentunya kita khawatir akan terjerumus ke dalam apa yang pernah diingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:<br />
<strong><em>“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan tersebut tertolak.” </em></strong>(HR. Muslim)<br />
Wahai saudaraku yang mulia, seyogyanya bagi kita semua selalu berupaya untuk menyesuaikan segala amal ibadah kita dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tujuan utama diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ke muka bumi ini adalah dalam rangka mengajari umat manusia bagaimana cara ibadah yang benar kepada Allah subhanahu wata’ala. Itulah hikmah kenapa syahadat Muhammadar Rasulullah diletakkan syahadat Laa Ilaaha Illallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mencontoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Amien, ya Rabbal ‘alamin.<br />
<br />
<b>sumber <a href="http://www.assalafy.org/">www.assalafy.org</a></b><br />
Abdurrahman Rouf Al-MaidanyMUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-26759630809797091612011-01-05T07:55:00.000-08:002011-01-05T07:55:50.482-08:00DAHSYATNYA DAMPAK PERBUATAN TIDAK IKHLAS<strong><span style="color: blue;"></span></strong>Berikut ini akan kami sampaikan sebuah hadits nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang menceritakan keadaan orang-orang yang tidak ikhlas dalam amalannya, Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya):<br />
“Sesungguhnya <b>manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, </b>dimana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).<br />
<b>Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur’an,</b> dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur’an untuk-Mu. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu belajar Al Qur’an (dengan niat)agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur’an agar dikatan sebagai seorang Qari’ (ahli membaca Al Qur’an), dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.<br />
<b>Ketiga, seseorang yang dilapangkan rizkinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan</b>, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya: Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu? Ia menjawab: Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq karena Engkau. Allah berfirman: Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar.” (HR. Muslim)<br />
Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala lemparkan mereka ke dalam An Nar. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut.<br />
nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:<br />
<strong><em>“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap wajah Allah, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka dia tidak akan mendapatkan aroma Al Jannah pada hari kiamat nanti.”</em></strong> (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)<br />
Akhir kata, semoga ulasan edisi kali ini mendorong kita untuk selalu mengoreksi ibadah yang telah kita lakukan baik kualitas maupun kuantitasnya. Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuni kekurangan-kekurangan ibadah kita yang telah lalu dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mukhlishin. Amin, Ya Rabbal alamin.MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-65730635531829806602011-01-05T07:29:00.000-08:002011-01-05T07:29:50.066-08:00DAHSYATNYA DAMPAK PERBUATAN IKHLAS<h3 style="text-align: center;"></h3><br />
<strong><span style="color: blue;">1. Mendapatkan syafa’at Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam</span></strong><br />
Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at engkau pada hari kiamat nanti?” Beliau menjawab:<br />
<em><strong>“Orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dengan ikhlas dari lubuk hatinya.” </strong></em>(HR. Al Bukhari)<br />
Makna ikhlas di sini adalah dia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan sekaligus menjalankan konsekuensi-konsekuensi dari kalimat tersebut, yakni dia harus benar-benar mempersembahkan amal ibadahnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):<br />
<em><strong>“Dan beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan engkau menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” </strong></em>(An Nisa’: 36)<br />
<span style="color: blue;"><strong>2. Dibukakan baginya pintu-pintu langit</strong></span><br />
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:<br />
<strong><em>“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas, kecuali pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu langit, sampai dia dibawa ke ‘Arsy (tempat beristiwa’nya Allah), selama dia menjauhi perbuatan dosa-dosa besar.”</em></strong> (HR. At Tirmidzi)<br />
<strong><span style="color: blue;">3. Diharamkan baginya An Nar (Neraka)</span></strong><br />
Sesungguhnya An Nar itu haram dimasuki oleh orang-orang yang ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:<br />
<em><strong>“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menolong umat ini dengan adanya kaum yang lemah di antara mereka, dengan doa mereka, dengan shalat mereka, dan dengan keikhlasan yang ada pada mereka.” </strong></em>(HR. An Nasa’i)<br />
<strong><span style="color: blue;">7. Dilapangkan dari masalah yang sedang menghimpitnya</span></strong><br />
Terkadang seorang muslim dihadapkan pada suatu masalah yang sangat pelik yang terkadang menjadikan dia berputus asa dalam mengatasinya. Tetapi, tahukah anda bahwa amalan-amalan yang dilakukan dengan ikhlas dapat dijadikan sebagai wasilah (perantara) dalam berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala untuk dihilangkannya berbagai masalah yang sedang menghimpitnya?<br />
Hal ini pernah menimpa tiga orang pada zaman dahulu ketika mereka terperangkap di dalam sebuah goa. Kemudian Allah subhanahu wata’ala selamatkan mereka karena do’a yang mereka panjatkan disertai dengan penyebutan amalan-amalan shalih yang mereka lakukan ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala.<br />
Kisah selengkapnya bisa anda baca di kitab Riyadhush Shalihin hadits no. 12.<br />
<strong><span style="color: blue;">8. Husnul Khatimah</span></strong><br />
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seseorang yang telah membunuh 99 bahkan 100 orang. Kemudian orang tersebut hendak bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi akhirnya orang tersebut meninggal sebelum beramal kebajikan sedikitpun.<br />
Namun Allah subhanahu wata’ala terima taubatnya karena keikhlasan dia untuk benar-benar bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan dia pun tergolong orang yang meninggal dalam keadaan husnul khatimah.<br />
Kisah selengkapnya juga bisa anda baca di kitab Riyadhush Shalihin hadits no. 20.<br />
<strong><span style="color: blue;">9. Benteng dari godaan setan</span></strong><br />
Setan dan bala tentaranya akan senantiasa menggoda umat manusia seluruhnya sampai hari kiamat. Namun hanya orang-orang yang ikhlaslah yang akan selamat dari godaan mereka ini. Hal ini diakui sendiri oleh pimpinan para setan yaitu iblis, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala sebutkan pengakuannya itu dalam Al Qur’an (artinya):<br />
“Iblis berkata: “Wahai Tuhanku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka.” (Al Hijr: 39-40)<br />
<strong><span style="color: blue;">10. Selamat dari jurang kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala</span></strong><br />
Tercatat dalam sejarah, bagaimana dahsyatnya godaan yang dialami Nabi Yusuf ? ketika diajak berzina oleh seorang istri pejabat negeri waktu itu. Namun Allah subhanahu wata’ala selamatkan dia dan Allah subhanahu wata’ala palingkan dia dari perbuatan tersebut. Allah subhanahu wata’ala kisahkan peristiwa ini di dalam Al Qur’an (artinya):<br />
<em><strong>“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.”</strong></em> (Yusuf: 24)<br />
Apa sebabnya?<br />
<em><strong>“Sesungguhnya dia (Yusuf) itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.”</strong></em> (Yusuf: 24)<br />
<strong><span style="color: blue;">11. Senantiasa di atas kebaikan</span></strong><br />
Diriwayatkan oleh Ja’far bin Hayyan dari Al Hasan, bahwa beliau berkata: “Senantiasa seorang hamba itu berada dalam kebaikan, jika berkata, (ikhlas) karena Allah subhanahu wata’ala, dan jika beramal, (ikhlas) karena Allah subhanahu wata’ala.”MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-90800873526295064782010-12-19T06:32:00.001-08:002010-12-19T06:32:44.741-08:00KUMPULAN HADIST TENTANG PERKAWINAN <div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">1. Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak. (HR. Abu Dawud)<br />
<br />
2. Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya. (HR. Bukhari)<br />
<br />
3. Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi. (HR. Al Hakim dan Ath-Thahawi)<br />
<br />
4. Rasulullah Saw melarang laki-laki yang menolak kawin (sebagai alasan) untuk beralih kepada ibadah melulu. (HR. Bukhari)<br />
<br />
5. Apabila datang laki-laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya maka kawinkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)<br />
<br />
6. Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (isteri) yang sholehah. (HR. Muslim)<br />
<br />
7. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali Ra: "Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya." (HR. Ahmad)<br />
<br />
8. Diharamkan dari penyusuan apa yang diharamkan dari keturunan (nasab). (HR. Bukhari)<br />
<br />
<i>Penjelasan</i>:<br />
Larangan hukum yang dikenakan terhadap nasab seperti hukum pernikahan, warisan, dan lain-lain berlaku juga terhadap anak atau saudara sesusu.<br />
<br />
9. Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaknya pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu. (HR. Muslim)<br />
<br />
10. Janganlah seseorang membeli (menawar) di atas penawaran saudaranya dan jangan meminang di atas peminangan saudaranya, kecuali jika saudaranya mengijinkannya. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)<br />
<br />
11. Barangsiapa mengawini seorang wanita karena memandang kedudukannya maka Allah akan menambah baginya kerendahan, dan barangsiapa mengawini wanita karena memandang harta-bendanya maka Allah akan menambah baginya kemelaratan, dan barangsiapa mengawininya karena memandang keturunannya maka Allah akan menambah baginya kehinaan, tetapi barangsiapa mengawini seorang wanita karena bermaksud ingin meredam gejolak mata dan menjaga kesucian seksualnya atau ingin mendekatkan ikatan kekeluargaan maka Allah akan memberkahinya bagi isterinya dan memberkahi isterinya baginya. (HR. Bukhari)<br />
<br />
12. Seorang janda yang akan dinikahi harus diajak bermusyawarah dan bila seorang gadis maka harus seijinnya (persetujuannya), dan tanda persetujuan seorang gadis ialah diam (ketika ditanya). (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)<br />
<br />
<i>Penjelasan</i>:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Diamnya seorang gadis adalah tanda setuju sebab gadis lebih banyak malu ketimbang janda.<br />
<br />
13. Kawinilah gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih sedap mulutnya dan lebih banyak melahirkan serta lebih rela menerima (pemberian) yang sedikit. (HR. Ath-Thabrani)<br />
<br />
14. Sebaik-baik wanita ialah yang paling ringan mas kawinnya. (HR. Ath-Thabrani)<br />
<br />
15. Allah 'Azza wajalla berfirman (dalam hadits Qudsi): "Apabila Aku menginginkan untuk menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat bagi seorang muslim maka Aku jadikan hatinya khusyuk dan lidahnya banyak berzikir. Tubuhnya sabar dalam menghadapi penderitaan dan Aku jodohkan dia dengan seorang isteri mukminah yang menyenangkannya bila ia memandangnya, dapat menjaga kehormatan dirinya, dan memelihara harta suaminya bila suaminya sedang tidak bersamanya. (HR. Ath-Thahawi)<br />
<br />
16. Tiada sah pernikahan kecuali dengan (hadirnya) wali dan dua orang saksi dan dengan mahar (mas kawin) sedikit maupun banyak. (HR. Ath-Thabrani)<br />
<br />
17. Barangsiapa menjanjikan pemberian mas kawin kepada seorang wanita dan berniat untuk tidak menepatinya maka dia akan berjumpa dengan Allah Ta'ala sebagai seorang pezina. Barangsiapa berhutang tetapi sudah berniat untuk tidak melunasi hutangnya maka dia akan menghadap Allah 'Azza wajalla sebagai seorang pencuri. (HR. Ath-Thabrani)<br />
<br />
18. Janganlah seorang isteri memuji-muji wanita lain di hadapan suaminya sehingga terbayang bagi suaminya seolah-olah dia melihat wanita itu. (HR. Bukhari)<br />
<br />
19. Janganlah seorang isteri minta cerai dari suaminya tanpa alasan (sebab yang dibenarkan), niscaya dia tidak akan mencium bau surga yang baunya dapat dirasakan pada jarak tempuh empat puluh tahun. (HR. Ibnu Majah)<br />
<br />
20. Seorang isteri yang ketika suaminya wafat meridhoinya maka dia (isteri itu) akan masuk surga. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)<br />
<br />
21. Allah Swt kelak tidak akan memandang (memperhatikan) seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya meskipun selamanya dia membutuhkan suaminya. (HR. Al Hakim)<br />
<br />
22. Hak <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> atas isteri ialah tidak menjauhi tempat tidur <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> dan memperlakukannya dengan benar dan jujur, mentaati perintahnya dan tidak ke luar (meninggalkan) rumah kecuali dengan ijin suaminya, tidak memasukkan ke rumahnya orang-orang yang tidak disukai suaminya. (HR. Ath-Thabrani)<br />
<br />
23. Tidak sah puasa (puasa sunah) seorang wanita yang suaminya ada di rumah, kecuali dengan seijin suaminya. (Mutafaq'alaih)<br />
<br />
24. Tidak dibenarkan seorang wanita memberikan kepada orang lain dari harta suaminya kecuali dengan ijin suaminya. (HR. Ahmad)<br />
<br />
25. Apabila seorang dari kamu hendak meminang seorang wanita dan dapat melihat bagian-bagian dari tubuhnya, hendaklah melakukannya. (HR. Ahmad)<br />
<br />
<i>Keterangan</i>:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Islam menentukan batas yang boleh dilihat, demi kehormatan kaum wanita. Laki-laki yang hendak meminangnya hanya diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangannya. Hal itu sudah dianggap cukup mewakili seluruh tubuhnya. Kepada lelaki itu diberi kesempatan melihat batas yang. diperbolehkan itu lebih lama dari biasa, dengan harapan mungkin hal itu akan mendorong minatnya untuk mengawininya. Di dalam syarh Al-Imam An-Nawawi pada shahih Muslim disebutkan bahwa izin untuk melihat ini tidak harus dengan persetujuan wanita itu, dan sebaiknya dilakukan tanpa sepengetahuannya, karena hal itu mutlak diizinkan oleh Rasulullah Saw. tanpa syarat keridhaannya. Biasanya wanita akan malu untuk memberikan izin. Hal ini untuk menjaga agar tidak melukai perasaannya, kalau setelah melihatnya, lelaki itu kemudian mengundurkan diri. Karena itulah dianjurkan untuk melihat tanpa sepengetahuan si wanita sebelum melakukan peminangan.<br />
<br />
26. Tidak dibenarkan manusia sujud kepada manusia, dan kalau dibenarkan manusia sujud kepada manusia, aku akan memerintahkan wanita sujud kepada suaminya karena besarnya jasa (hak) <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> terhadap isterinya. (HR. Ahmad)<br />
<br />
27. Bila seorang menggauli isterinya janganlah segan untuk mengucapkan doa:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><br />
</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><img border="0" src="images/b55_pe1.gif" /></div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><br />
</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">"Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkan setan dari apa yang Engkau berikan rezeki bagiku (anak)." Sesungguhnya kalau seandainya Allah menganugerahkan bagi mereka anak maka anak tersebut tidak akan diganggu setan sama sekali. (HR. Bukhari)<br />
<br />
28. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, "Apa hak isteri terhadap suaminya?" Nabi Saw menjawab, "Memberi isteri makan bila kamu makan, memberinya pakaian bila kamu berpakaian, tidak boleh memukul wajahnya, tidak boleh menjelek-jelekkannya dan jangan menjauhinya kecuali dalam lingkungan rumahmu. (HR. Abu Dawud)<br />
<br />
29. Apabila di antara kamu ada yang bersenggama dengan isterinya hendaknya lakukanlah dengan kesungguhan hati. Apabila selesai hajatnya sebelum selesai isterinya, hendaklah dia sabar menunggu sampai isterinya selesai hajatnya. (HR. Abu Ya'la)</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><br />
</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><i>Keterangan</i>:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Hendaknya <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> dan <span style="background-color: #316ac5; color: white;">istri</span> sama-sama merasakan kepuasan dan sama-sama mencapai ejakulasi.<br />
<br />
30. Apabila seorang di antara kamu menggauli isterinya, janganlah menghinggapinya seperti burung yang bertengger sebentar lalu pergi. (HR. Aththusi)</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><br />
</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><i>Keterangan</i>:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Sama seperti pada no.29 diatas.<br />
<br />
31.</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><img border="0" src="images/b55_pe2.gif" /></div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><br />
</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Janganlah kamu menggauli isteri sebagaimana unta atau keledai, tetapi hendaklah bercumbu dan bercengkerama terlebih dahulu. [<span style="color: red;"><i>hadits ini tidak dituliskan siapa yang meriwayatkannya, karena itu saya sertakan teks arabnya</i></span>]</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><br />
</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><i>Keterangan</i>:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Yakni tidak langsung melakukan hubungan intim sebelum pemanasan dahulu, diantaranya bergurau, bercumbu dan membelai mesra <span style="background-color: #316ac5; color: white;">istri</span>.<br />
<br />
32. Seburuk-buruk kedudukan seseorang di sisi Allah pada hari kiamat ialah orang yang menggauli isterinya dan isterinya menggaulinya dengan cara terbuka lalu suaminya mengungkapkan rahasia isterinya kepada orang lain. (HR. Muslim)<br />
<br />
33. Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi. (HR. Abu 'Asaakir)<br />
<br />
34. Janganlah seorang laki-laki mukmin membenci isterinya yang beriman. Bila ada perangai yang tidak disukai, dia pasti ridha (senang) dengan perangainya yang lain. (HR. Muslim)<br />
<br />
35. Isteri yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan tanggungannya. (HR. Ahmad dan Al Hakim)<br />
<br />
36. Sesungguhnya wanita seumpama tulang rusuk yang bengkok. Bila kamu membiarkannya (bengkok) kamu memperoleh manfaatnya dan bila kamu berusaha meluruskannya maka kamu mematahkannya. (HR. Ath-Thahawi)<br />
<br />
37. Hindun, ibunya Muawiyah, bertanya kepada Nabi Saw, "Ya Rasulullah, Abu Sufyan suamiku seorang yang pelit, apakah aku boleh mengambil uangnya sedikit secara sembunyi-sembunyi?" Nabi Saw menjawab, "Ambillah dengan cara yang makruf (baik) untuk mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anak-anakmu." (HR. Bukhari)<br />
<br />
38. Rasulullah Saw melarang azal terhadap isteri kecuali dengan persetujuannya. (HR. Ahmad)<br />
<br />
<i>Penjelasan</i>:<br />
Adapun budak yang diperistrikan dibolehkan azal bagi laki-laki kalau tidak menghendaki keturunan daripadanya.<br />
<br />
39. Allah melaknat <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> yang mengambil laki-laki lain untuk mengawini bekas isterinya yang sudah cerai tiga talak supaya bisa dirujuk kembali olehnya. Jadi perkawinan itu sekedar tipu muslihat bagi pengesahan rujuk. Orang yang mau disuruh membantu tipu daya dengan mengawini lalu dicerai (tidak digauli) juga dilaknat Allah. (HR. Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
40. Rasulullah Saw melarang kawin mut'ah. (HR. Bukhari)<br />
<br />
<i>Penjelasan</i>:<br />
Kawin mut'ah ialah kawin untuk waktu tertentu atau disebut kawin kontrak.<br />
<br />
41. Talak (perceraian) adalah suatu yang halal yang paling dibenci Allah. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)<br />
<br />
42. Ada tiga perkara yang kesungguhannya adalah kesungguhan (serius) dan guraunya (main-main) adalah kesungguhan (serius), yaitu perceraian, nikah dan rujuk. (HR. Abu Hanifah)<br />
<br />
<i>Penjelasan</i>:<br />
Jadi dilarang bergurau (main-main) dalam ketiga perkara diatas.<br />
<br />
43. Apabila <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> mengajak isterinya (bersenggama) lalu isterinya menolak melayaninya dan <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> sepanjang malam jengkel maka (isteri) dilaknat malaikat sampai pagi. (Mutafaq'alaih)<br />
<br />
44. Terkutuklah siapa-siapa yang menyetubuhi isterinya lewat duburnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)<br />
<br />
45. Allah tidak akan melihat (memperhatikan) seorang lelaki yang menyetubuhi laki-laki lain (homoseks) atau yang menyetubuhi isteri pada duburnya. (HR. Tirmidzi)<br />
<br />
46. Saling berwasiatlah kalian tentang kaum wanita dengan baik-baik. Mereka itu adalah tawanan di tanganmu. Tiada kalian bisa menguasai apa-apa dari mereka, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji (zina), pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka atau lakukan pemukulan yang tidak membekas. Apabila mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Kalian punya hak atas mereka dan mereka pun punya hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan tempat tidur kalian diinjak oleh orang yang tidak kalian sukai, dan hak mereka atas kalian adalah memberi sandang-pangan kepada mereka (isteri-isterimu) dengan yang baik-baik. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)<br />
</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><i>Keterangan</i>:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Di dalam buku "Ketentuan Nafkah <span style="background-color: #316ac5; color: white;">Istri</span> dan Anak" karya Drs. Muhammad Thalib, disebutkan bahwa ketentuan nafkah untuk <span style="background-color: #316ac5; color: white;">istri</span> diantaranya adalah:</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">- Keperluan makan dan minum</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">- Keperluan pakaian</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">- Keperluan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;">Selain itu, <span style="background-color: #316ac5; color: white;">suami</span> berkewajiban pula menyediakan tempat tinggal untuk <span style="background-color: #316ac5; color: white;">istri</span> dan diri sendiri sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt didalam Al Qur'an, "Tempatkanlah mereka (para <span style="background-color: #316ac5; color: white;">istri</span>) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka." (Surat 65. ATH THALAAQ - Ayat 6)</div><div align="justify" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><br />
</div><div style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><span style="color: navy;">Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press</span></div><hr /> <div align="center" style="margin-bottom: 0px; margin-top: 0px;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: medium;">.::</span><span style="font-family: Courier New; font-size: medium;"> <a href="http://www.blogger.com/index.htm">HaditsWeb</a> </span><span style="font-family: Tahoma; font-size: medium;">::.</span></b> </div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-53039547683177970722010-12-19T05:07:00.000-08:002010-12-19T05:07:42.473-08:00HIKMAH MUSIBAH DAN BENCANABangsa Indonesia saat ini sedang ditimpa musibah secara berturut-turut. Dari tinjauan islam,musibah apapun yang berupa bencana alam atau akibat kelalaian manusia, segala yang terjadi telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Berat mata memandang,memang tak seberat bahu memikul. Suka atau tidak kehidupan harus terus berjalan. Oleh sebab itu pastilah ada hikmah yang dapat diambil dari berbagai kejadian yang menimpa, karena Dia yang Maha Adil dan Penyayang pasti tidak akan berbuat aniaya. Smoga kutipan ini dapat menjadi sedikit penghibur bagi sobat-sobat yang sedang mengalami kesulitan atau kesedihan.<br />
<span id="more-12"></span>Ibnu Qayyim berkata:<br />
“Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusanNya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun akal kita sangat terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia dibawah sinar matahari. Dan ini pun hanya kira-kira, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.”<br />
Diantara beberapa hikmah yang bisa saya kutip diantaranya:<br />
<ol><li><strong>Sabar sebgai konsekuensi menghadapi kesulitan dan kesusahan.</strong> Allah berfirman:<br />
<blockquote>“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira pada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun (Sesungguhnya semua berasal dr Allah dan akan kembali kpd_NYa). Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” <strong>(QS.Al-Baqarah:155-157)</strong></blockquote></li>
<li><strong>Menghapuskan dosa dan kesalahan.</strong> Allah berfirman:<br />
<blockquote>“Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri,dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” <strong>(QS.Asy-Syura:30)</strong></blockquote>Dari Sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id radiallahuanhu : Rasulullah SAW bersabda: <br />
<blockquote>“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah gulanaan hingga duri yang menusuknya melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya. <strong>(HR. Bukhari)</strong></blockquote></li>
<li><strong>Dicatat sebagai kebaikan dan derajat ditinggikan.</strong><br />
<blockquote>“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu,melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya” <strong>(HR.Muslim)</strong></blockquote></li>
<li><strong>Jalan menuju syurga.</strong> Dari Abu Hurairah,Rasulullah SAW bersabda:<br />
<blockquote>“Syurga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai dan Neraka itu dikelilingi dengan berbagai macam syahwat.” <strong>(HR. Bukhari – Muslim)</strong></blockquote>Allah berfirman dalam sebuah hadist qudsi: <br />
<blockquote>“Tidaklah ada suatu balasan (yang lebih pantas di sisiKu bagi hambaKu yang beriman, jika Aku telah mencabut nyawa kesayangannya dari penduduk dunia kemudian dia bersabar atas kehilangan orang kesayanagnnya itu, melainkan Surga.” <strong>(HR. Bukhari)</strong></blockquote></li>
<li><strong>Membawa keselamatan dari api neraka</strong><br />
<blockquote>“Janganlah kamu mencacimaki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi” <strong>(HR. Muslim)</strong></blockquote></li>
<li><strong>Mengembalikan hamba kepada Rabb-nya dan mengingat kelalaiannya.</strong> Allah berfirman:<br />
<blockquote>“Dan sesungguhnya KAmi telah mengutus Rasul-Rasul kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami timpa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri.” <strong>(QS.Al-An’am : 42)</strong></blockquote></li>
<li><strong>Mengingat nikmat Allah yang lalu dan yang ada</strong>. Seorang penyair berkata: Seseorang tidak mengenali tanda-tanda sehat selagi dia belum tertimpa sakit.</li>
<li><strong>Mengingat keadaan saudara-saudaramu yang ditimpa musibah</strong>. Maka diantara hikmah Allah, Dia menimpakan cobaan berupa penyakit dan penderitaan kepada orang mukmin pada waktu-waktu tertentu, agar dia mengingat saudara-saudaranya yang ditimpa kesulitan, sehingga tergugah untuk membantunya.</li>
<li><strong>Mensucikan hati</strong>. Ibnu Qayyim radiallahuanhu berkata:<br />
<blockquote>“Hati dan ruh bisa mengambil manfaat dari penderitaan dan penyakit yang merupakan urusan yang tidak bisa dirasakan kecuali jika di dalamnya ada kehidupan. Kebersihan hati dan ruh tergantung kepada penderitaan badan dan kesulitannya.” (<strong><em>Tuhfatul Mariidh</em></strong> hal 25)</blockquote></li>
<li><strong>Cobaan dan ujian merupakan nikmat</strong>. Karena hikmah dari berbagai cobaan,orang – orang shalih justru gembira sekiranya mendapat cobaan spt telah mendapat kesenangan. RAsullullah SAW menyebutkan bahwa para Nabi telah ditimpa cobaan berupa penyakit, kemiskinan dan yang lainnya kemudian beliau bersabda:<br />
<blockquote>“…Dan sesungguhnya salah seorang diantara mereka benar-benar merasa gembira karena mendapat cobaan, sebagaimana salah seorang merasa gembira karena telah mendapatkan kelapangan.” <strong>(HR. Ibnu Majah)</strong></blockquote></li>
</ol><hr />Dikutip dari : <strong>Do’a & Hiburan (Bagi orang sakit dan terkena musibah) Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih</strong> oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas.MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-70237651886595965262010-12-16T19:28:00.000-08:002010-12-16T19:28:51.999-08:00SEJARAH TAHUN HIJRAH DAN MAKNA BULAN MUHARAM<!--[if !mso]> <style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <h3 align="center" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Tahoma;"><a href="http://www.dukonbesar.com/2009/12/revitalisasi-makna-hijrah-menuju.html">Judul asli : (Revitalisasi Makna Hijrah Menuju Perubahan)</a></span></span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;"><a href="http://dukonbesar.googlepages.com/1muharam.jpeg"><span style="text-decoration: none;"><span><img border="0" height="150" src="file:///C:/DOCUME%7E1/DINASP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image002.jpg" width="200" /></span></span></a>Kehadiran bulan Muharram bagi umat Islam merupakan momentum penting sebagai awal tahun baru dalam kelender Islam. Sejak ditetapkannya oleh khalifah Umar bin Khattab, umat Islam seantero dunia memperingatinya sebagai tahun baru, sekaligus medium melakukan introspeksi atas aktivitas ibadah dan keimanannya pada tahun sebelumnya, bahkan menyiapkan upaya peningkatan kualitas ibadah, keimanan serta ketaqwaaannya untuk tahun mendatang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Peristiwa-peristiwa besar yang patut direfleksikan kembali dalam bulan Muharram yang terekam secara tersurat dalam sejarah Islam yakni, Nabi Adam AS bertemu dengan Hawa pasca dieksekusi dari surga ke bumi. Peristiwa besar lainnya adalah, Nabi Nuh AS mendarat perahunya setelah dilanda banjir bah maha dahsyat, demikian juga nabi Ibrahim AS selamat dari kobaran api saat dibakar pasukan Namrudz.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Pada masa yang sama juga, Nabi Musa AS terselamatkan dari kejaran bala tentara Firaun dengan menyeberangi laut merah. Kemudian paling monumental adalah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah menuju Madinah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Bahkan peristiwa hijrahnya nabi tersebut, oleh khalifah Umar bin Khattab, dijadikan sebagai awal tahun baru dalam kalender Islam. Perhitungan tahun Islam atas prakarsa Khalifah Umar tersebut yang dipopulerkan sebagai tahun hijriyah yang penetapannya sejak rasul hijrah pada tahun 622 Masehi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Kebijakan khalifah itu merupakan momentum sebagai awal tahun Islam. Di antara alasan penetapa tersebut adalah hijrah merupakan pemisahan periode Mekkah dan Madinah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Secara historis, umat Islam pada periode awal di Mekkah mengalami pengebirian dan penyiksaan dari kaum kafir atas prakarsa Abu Jahal dan Abu Lahab. Bagi nabi dan sahabatnya, periode Mekkah pra hijrah merupakan ujian terberat dari langkah awal mendakwahkan Islam sebagi ajaran yang benar yang banyak ditantang kaum kafir jahiliyah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Untuk melepaskan dari hegemoni kaum jahiliyah Mekkah itu, nabi memutuskan untuk hijrah atas petunjuk Allah dengan meninggalkan kampung kelahiran, harta dan keluarga yang dicintainya dengan berjalan kaki tidak kurang dari 500 Km menuju Madinah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Pasca hijrahnya nabi bersama sahabat ke Madinah merupakan awal pencerahan dan perubahan nasib umat Islam. Sebab selama di Mekkah, umat Islam yang masih minoritas ditindas dan dimusihi, sebaliknya di Madinah justru mendapatkan perlakuan cukup baik dari kaum Anshar.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Dalam hal ini, peristiwa hijrah nabi sejatinya dimaknai sebagai bagian terpenting dalam sejarah Islam, yakni tonggak awal kebangkitan Islam.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Di Madinah secara bersama-sama dengan sahabatnya, nabi mulai membangun peradaban Islam yang selama ini banyak diadopsi sebagai masyarakat madani. Yakni, sebuah tatanan kehidupan masyarakat dibangun dan diwujudkan sesuai internalisasi ajaran Islam yang diprakarsai nabi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Selain itu, hijrah nabi juga merupakan pemisah antara periode Mekkah yang terkungkung dari kaum jahiliyah beralih ke Madinah yang justru menjadi negeri pembebasan sekaligus mencerminkan heteronitas umat baik muslim maupun non muslim hidup selaras dengan merujuk pada piagam Madinah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Momentum hijrah yang menjadi awal kebangkitan peradaban Islam yang menyejarah. Nabi menancapkan pilar peradaban Islam di Madinah sebagai tonggak perjuangan umat paling strategis.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Dalam konteks lebih luas, perintah hijrah bukan hanya secara seremonial bagi nabi, tetapi menjadi medium pembelajaran bagi umat Islam untuk melakukan perubahan. Baik perubahan fisik maupun non fisik seperti perubahan mental dan prilaku yang lebih baik dan terpuji.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Usaha-usaha untuk melakukan perbaikan, terutama untuk memperbaiki kualitas individual maupun kualitas kolektif anak bangsa. Keterbelakangan umat manusia harus disikapi lebih arif dengan melakukan hijrah individual dengan membenahi kepribadian menuju perbaikan moral keluarga dan masyrakat-bangsa.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Makna HIJRAH</span></b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Setiap tahun umat Islam menyambut tahun hijriyah, hijrah dimaknai lebih luas yakni, kita harus hijrah nilai, misalnya hijrah dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang Islami. Dalam pengertian ini, ghirah atau semangat hijrah yang patut diimplementasikan sekarang ini, bukan lagi dalam pengertian fisik, tetapi hijrah secara kontekstual dengan meninggalkan segala peradaban atau nilai-nilai yang tidak baik dan tidak urgen menuju peradaban yang lebih baik yang diridhai Allah dan dapat diterima umat manusia pada umumnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Menyingkapi kondisi sekarang, perilaku yang menyimpang yang dilakukan baik prilaku masyarakat biasa dengan pelbagai kejahatan dan kriminalitas yang telah mencerminkan kehidupan penuh kekerasan, sepatutnya ditinggalkan dengan berhijrah kepada kehidupan yang lebih baik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Demikian halnya dengan pola kehidupan pejabat yang banyak melakukan penyimpangan atas amanah rakyat. Seperti melakukan korupsi atau perbuatan mungkar lainnya sebagai fenomena fasad berupa pengrusakan dimuka bumi tanpa kontrol, maka idealnya mereka berhijrah dari perilaku tersebut menuju ke jalan yang baik dengan mengembang amanah dan kepercayaan rakyat dengan penuh tanggung jawab.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Artinya, pada saatnya untuk melakukan hijrah menuju pada internalisasi nilai-nilai Islami.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Ravitalisasi makna hijrah yang dikontekstualkan dalam kehidupan sekarang ini, menjadi keniscayaan dengan mengubah sistem seperti yang dilakukan nabi pasca hijrah dari Mekkah ke Madinah. Yakni membangun peradaban masyarakat madani dengan sistem yang tertib, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan membangun sistem sosial berupa mempersamakan orang-orang yang beragam suku dan agama dalam masyarakat Madina tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Proses hijrahnya nabi dari Mekkah ke Madinah menyiratkan multiinterpretasi yang sepatutnya diaktualisasikan dalam konteks kekinian dan kedisinian. Penulis mengurai makna filosofis dan aplikasi hijrah tersebut dalam beberapa pemahaman yakni, pertama, hijrah sepatutnya dimaknai sebagai ikhtiar untuk hijrah dari keterbelakangan menuju ke kondisi lebih maju dan dinamis.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Keterbelakangan dalam konten tersebut melingkupi keterbelakangan secara individual atau keterbatasan SDM, demikian juga keterbelakangan kolektif. Dalam hal ini, keterbelakangan negara-bangsa dalam mensejehterakan masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih layak dan sejahtera.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Kedua, hijrah secara universal dapat ditafsirkan sebagai proses perubahan atau berhijrah dari sistem otoriter, era keterkungkungan menuju ke era keterbukaan dan pembebasan. Melepaskan diri dari hegemoni tersebut menuju perubahan yang memberi ruang untuk berekspresi dalam meraih kebebasan dan pembebasan, termasuk keluar dari kungkungan rezim yang menindas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Ketiga, dimensi hijrah dari kejahiliaan menuju ke arah pencerahan juga menjadi makna dari hijrah itu sendiri. Melakukan rekonstruksi pendidikan dengan sistem yang lebih baik dan efesien sebagai upaya melahirkan sumber daya yang potensial masa mendatang demi kemaslahatan bangsa, menjadi keniscayaan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Demikian beberapa interpretasi dan makna hijrah sebagai revitalisasi dengan konteks kekinian. Hal ini sejatinya seorang Muslim menjadikan bulan Muharram yang setiap tahunnya diperingati untuk membangun keshalehan individual dan sosialnya. Sekaligus guna mengimplementasikan diri sebagi bagian Islam yang rahmatan lil alamin, yang mengurai kedamaian dalam seluruh dimensi dan lini kehidupan duniawinya sebagai bekal menuju perjalanan akhiratnya yang abadi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Menyambut tahun baru Islam, 1 Muharram 1431 H, menjadi momentum bagi umat Islam untuk melakukan interospeksi secara kolektif, guna melakukan perubahan dari keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik sebagai revitalisasi hijrah. Meningkatkan spritualitas dan kesadaran keagamaan menjadi keniscayaan umat Islam Indonesia, terutama ketika bangsa ini dihadapkan dengan berbagai musibah yang sepatutnya direnungkan sebagai momentum menguji kualitas keimanan dan keberislamannya dan patut direnungi untuk diambil hikmahnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Sebagai umat Islam, dalam menyambut Tahun Baru Islam, kita harus merefleksikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam perjalanan hijrah nabi secara kontekstual, yakni hijrah dari nilai-nilai yang buruk menuju penciptaan nilai yang lebih baik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Tahun hijriyah ini sepatutnya umat Islam baik secara personal maupun kolektif seperti yang tergabung dalam ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta yang lainnya, menjadikan hijrah merupakan momentum memasuki tahun baru untuk melakukan perbaikan dalam kehidupan sosial menuju perbaikan sistem demi kebaikan dan kemaslahatan umat yang lebih luas, merubah sistem yang tiranik, fasad dan menindas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Untuk itu, upaya merevitalisasikan makna hijrah dapat diartikulasikan dalam kehidupan personal, keluarga, sosial kemasyarakatan dan bernegara secara sinergis. Bahkan kini saatnya bangsa ini berhijrah menuju sistem yang lebih arif dengan sistem yang demokratis guna mewujudkan kehidupan keadilan sosial bagi masyarakat luas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">Kearifan memaknai hijrah dengan melakukan transformasi ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, termasuk didalamnya keberanian untuk melakukan rekayasa sosial dengan berbagai varian inovasinya. Dengan begitu, setiap kita sebagai insan beradab melakukan perbaikan dalam pelbagai lini kehidupan sebagai cerminan semangat hijrah dan menyambut tahun baru Islam dengan membuka lembaran baru yang lebih baik di hari-hari mendatang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">*) oleh : <i><span style="color: blue;">DR. Firdaus Muhammad MA</span></i>, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin - Makassar</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 14pt;">sumber : <a href="http://www.tribun-timur.com/read/artikel/63573">Tribun Timur</a></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-79765123492650141102010-12-16T18:54:00.000-08:002010-12-16T18:54:02.051-08:00AYAT-AYAT HIJRAH<!--[if !mso]> <style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="http://img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" /> <style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <h2 align="center" style="text-align: center;"><span style="font-size: 20pt;"><a href="http://blog.al-habib.info/id/ayat-ayat-hijrah/" title="Permanent Link to Ayat-ayat Hijrah"><span lang="SV">Ayat-ayat Hijrah</span></a></span><span lang="SV" style="font-size: 20pt;"></span></h2><div class="MsoNormal"><span class="author"><span lang="SV">Ditulis oleh alhabib</span></span><span lang="SV"> <span class="clock">Pada December - 6 - 2010 </span></span><span class="clock"><a href="http://blog.al-habib.info/id/ayat-ayat-hijrah/print/" title="Print This Post"><span style="text-decoration: none;"><span><img alt="Print This Post" border="0" class="WP-PrintIcon" height="16" src="file:///C:/DOCUME%7E1/DINASP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image001.gif" style="border-style: none; border-width: 0px;" title="Print This Post" width="16" /></span></span></a></span><span class="clock"><span> </span></span><span lang="SV"></span></div><div class="MsoNormal"><img border="0" height="204" src="file:///C:/DOCUME%7E1/DINASP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image002.jpg" width="320" /></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Hijriyah. Artinya, kita akan memasuki tahun baru dalam <a href="http://www.al-habib.info/kalender-islam/" title="Informasi Kalender Islam"><strong><span style="font-family: Tahoma;">kalender islam</span></strong></a>.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Saat pergantian tahun sering kita manfaatkan untuk bermuhasabah, menghitung diri, dan meletakkan landasan untuk melangkah ke depan. Pergantian tahun hijriyah juga bisa menjadi momentum untuk memaknai peristiwa <strong><span style="font-family: Tahoma;">Hijrah Nabi Muhammad saw</span></strong>. beserta kaum mu’minin waktu itu. Setelah 10 tahun berdakwah di Mekah penuh dengan tekanan dan siksaan, perintah Hijrah dari Allah swt. menjadi titik balik bagi islam dan kaum muslimin. Hijrah mereka ke Madinah menjadi kunci perkembangan pesat islam dan kemenangan.</span></div><h2 style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Tadabbur Ayat-ayat Hijrah</span></h2><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Berikut ini adalah ayat-ayat di dalam Al Qur’an yang bertema hijrah ataupun turun berkaitan dengan peristiwa tersebut. Semoga kita bisa mengambil manfaat, <a href="http://blog.al-habib.info/id/about/tafakur-hikmah/" title="Hikmah Islam">hikmah dan pelajaran</a> dari mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman)<strong><sup><span style="font-family: Tahoma;"> </span></sup></strong>. Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, <strong><span style="font-family: Tahoma;">akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka</span></strong>. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [Al Anfaal (8): 63]</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Penduduk Madinah yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum Nabi Muhammad s.a.w hijrah ke Madinah. Setelah mereka masuk Islam, permusuhan itu hilang.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja. [Al Israa' (17): 76]</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Maksudnya: kalau sampai terjadi Nabi Muhammad s.a.w. diusir, oleh penduduk Mekah, niscaya mereka tidak akan lama hidup di dunia, dan Allah segera akan membinasakan mereka. <strong><span style="font-family: Tahoma;">Hijrah Nabi Muhammad s.a.w. ke Madinah bukan karena pengusiran kaum Quraisy</span></strong>, melainkan semata-mata karena perintah Allah.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri<strong><sup><span style="font-family: Tahoma;">, </span></sup></strong>(kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “<strong><span style="font-family: Tahoma;">Bukankah bumi Allah itu luas</span></strong>, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” </span><span lang="SV" style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa' (4): 97]</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Yang dimaksud dengan orang yang <em><span style="font-family: Tahoma;">menganiaya diri sendiri</span></em> di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Barangsiapa <strong><span style="font-family: Tahoma;">berhijrah di jalan Allah</span></strong>, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini <strong><span style="font-family: Tahoma;">tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak</span></strong>. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An Nisaa' (4): 100]</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><h2 style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Berhijrah menuju Cahaya Allah</span></h2><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia <strong><span style="font-family: Tahoma;">dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang</span></strong> dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Ibrahim (14): 1]</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka<strong><span style="font-family: Tahoma;"> dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)</span></strong>. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Al Baqarah (2): 257]</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;"> </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia <strong><span style="font-family: Tahoma;">mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya</span></strong> (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. [Al Ahzab (33): 43]</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 16pt;">(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh <strong><span style="font-family: Tahoma;">dari kegelapan kepada cahaya</span></strong>. [Ath Thalaq (65): 11]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-85319176850428017342010-12-12T20:22:00.000-08:002010-12-12T20:22:07.676-08:00SEBAB-SEBAB MUSIBAH<em>“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.”</em> <strong>(QS. Hud : 117)</strong><br />
<br />
<em>“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” </em><strong>(QS. An Nisaa : 147)</strong><br />
<br />
<em>“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” </em><strong>(QS. Al Isra, 17 : 16)</strong><br />
FirmanNya lagi:<br />
<em>“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” </em><strong>(QS. Al Isra, 17 : 58)</strong><br />
FirmanNya lagi:<br />
<em>“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari dosa-dosamu.” </em><strong>(QS. As Syura, 42 : 30)</strong><br />
<br />
<em>“Dan Allah Telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi <b>(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; </b>Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” </em><strong>(QS. An-Nahl, 16 : 112)</strong><br />
<br />
<em>“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah <b>menukar nikmat Allah dengan kekafiran</b> dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.”</em> <strong>(QS. Ibrahim, 14 : 28-29)</strong><br />
<br />
<em>“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan dimuka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat yang diderita oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka, mereka telah mengolah bumi dan memakmurkannya lebih banyak dari apa yang mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa keterangan dan bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku dzalim kepada mereka ,tetapi merekalah yang <b>berlaku dzalim terhadap dir mereka</b>. Kemudian akibat orang-orang yang melakukan <b>kedurhakaan dan kejahatan</b> adalah azab siksa yang lebih buruk, karena mereka <b>mendustakan ayat-ayat Allah </b>dan mereka selalu memperolok-olok.”</em> <strong>(QS. Rum, 30 : 9-10).</strong><br />
<br />
<em>“(ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya”. (Allah berfirman): “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, Maka Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Kalau kamu melihat ketika Para Malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri), demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya <b>Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya</b>, (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka <b>mengingkari ayat-ayat Allah</b>, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi amat keras siksaan-Nya, (siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya <b>Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya </b>kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri [Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.], dan sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui, (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim. <b>Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir,</b> karena mereka itu tidak beriman.” </em><strong>(QS. Al An fal, 8 : 49-55)</strong><br />
<br />
Demikianlah diantara ayat-ayat Allah yang menerangkan sebab-sebab datangnya musibah dan bala bencana.<br />
Rasulullah Saw juga menerangkan akan sebab-sebab musibah dalam haditsnya:<br />
Berkata Ummu Salamah, istri Rasulullah Saw, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:<br />
<em><span lang="FI"><b>“Jika timbul maksiat pada ummatku,</b> maka Allah akan menyebarkan azab-siksa kepada mereka.”</span></em><span lang="FI"> Aku berkata : Wahai Rasulullah, apakah pada waktu itu tidak ada orang-orang shalih? Beliau menjawab: <em>“ada!”</em>. Aku berkata lagi: Apa yang akan Allah perbuat kepada mereka? Beliau menjawab: <em>“Allah akan menimpakan kepada mereka azab sebagaimana yang ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat maksiat, kemudian mereka akan mendapatkan keampunan dan keredhaan dari dari Rabbnya.” </em><strong>(HR. Imam Ahmad)</strong></span>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1511637416956473708.post-67710215168087231362010-12-11T16:32:00.000-08:002010-12-13T17:47:48.765-08:00ADAB BERTANYA<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div><div><div style="background-color: transparent; border: medium none; color: black; overflow: hidden; text-align: left; text-decoration: none;"><div style="text-align: justify;">Bismillah, </div><div style="text-align: justify;">Seorang penanya hendaklah memiliki adab-adab dalam bertanya supaya dia bisa mengambil manfaat dari pertanyaan tersebut.Di antara adab-adab tersebut adalah:<br />
<br />
<b>1. Ikhlash dalam bertanya</b><br />
Diantara ikhlash dalam bertanya adalah bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita atau diri orang lain, bukan untuk berdebat kusir atau sombong dihadapan para ulama atau riya (supaya dikatakan orang yang bersemangat menuntut ilmu).<br />
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
<span style="font-size: medium;">من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار</span><br />
<br />
"Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para ulama atau untuk berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka" (HR. At-Tirmidzy 5/32 no.2654, dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albany)<br />
<br />
Berkata Ibnul Qayyim:<br />
<br />
<span style="font-size: medium;">وقيل إذا جلست إلى عالم فسل تفقهاً لا تعنتاً</span><br />
<br />
"Telah dikatakan: Jika anda duduk bersama seorang 'alim (ahli ilmu) maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan" (Miftah Daris Sa'adah 1/168)<br />
<br />
<b>2. Memperbagus pertanyaan</b><br />
<br />
Ketika menjelaskan bahwa ilmu itu memiliki enam tingkatan, Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan bahwa tingkatan pertama adalah bagusnya pertanyaan:</div><a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=1511637416956473708&postID=6771021516808723136" name="more"></a><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وللعلم ست مراتب أولها حسن السؤال...فمن الناس من يحرمه لعدم حسن سؤاله أما لأنه لا يسأل بحال أو يسأل عن شيء وغيره أهم إليه منه كمن يسأل عن فضوله التي لا يضر جهله بها ويدع ما لا غنى له عن معرفته وهذه حال كثير من الجهال المتعلمين ومن الناس من يحرمه لسوء إنصاته فيكون الكلام والممارات آثر عنده وأحب اليه من الانصات وهذه آفة كامنة في أكثر النفوس الطالبة للعلم وهي تمنعهم علما كثيرا ولو كان حسن الفهم</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Ilmu memiliki enam tingkatan, yang pertama adalah bagusnya pertanyaan dan sebagian orang ada yang tidak mendapatkan ilmu karena jeleknya pertanyaan, mungkin karena dia tidak bertanya sama sekali, atau bertanya tentang sesuatu padahal di sana ada sesuatu yang lebih penting yang patut ditanyakan seperti bertanya tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mengapa kita tidak mengetahuinya dan meninggalkan pertanyaan yang harus kita ketahui, dan ini adalah keadaan kebanyakan dari para penuntut ilmu yang bodoh." (Miftah Daris Sa'adah, hal:169)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di antara pertanyaan yang bagus adalah pertanyaan tentang ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu yang menunjukkan kita kepada kebaikan dan mengingatkan kita dari kejelekan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun yang selainnya maka itu akan membawa mudharat atau tidak ada faidahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Allah telah menyebutkan di dalam Al-Quran sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat seperti pertanyaan orang-orang musyrik tentang kapan hari kiamat (Al-A'raf:187) dan pertanyaan orang yahudi tentang ruh (Al-Isra': 85), Atau pertanyaan tentang sesuatu yang tidak mungkin terjadi atau jarang sekali karena itu termasuk berlebih-lebihan dan berprasangka belaka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>3. Menggunakan cara yang baik dalam bertanya</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di antaranya adalah berlemah lembut dalam bertanya karena yang demikian itu akan menjadikan yang ditanya memberikan ilmunya sebaik-baiknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berkata Imam Az-Zuhri rahimahullah</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وكان عبيد الله يلطفه فكان يعزه عزا</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Dahulu Ubaidullah (yakni bin Abdullah bin 'Utbah, seorang tabi'in) berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu 'Abbas, maka beliau (Ibnu 'Abbas) memberinya ilmu yang banyak." [Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal di Al-'Ilal wa Ma'rifatur Rijal (1/186), dan Ibnu Sa'd dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra (5/250)]</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan berkata Ibnu Juraij rahimahullah:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">لم أستخرج الذي استخرجت من عطاء إلا برفقي به</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">" Tidaklah aku mengambil ilmu 'Atha kecuali dengan kelembutanku kepadanya." [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih (2/423)]</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di antara kebaikan dalam bertanya adalah mencari situasi dan kondisi yang tepat untuk bertanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>4. Berdiskusi dengan cara yang baik kalau ada yang tidak disetujui dari jawaban orang yang ditanya.</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>5. Tidak mengadu domba di antara ahli ilmu seperti mengatakan: Tapi ustadz fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian.</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Maka yang dem...ikian termasuk kurang beradab. Kalau memang harus bertanya, maka hendaklah mengatakan: "Apa pendapatmu tentang ucapan ini?" Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan.(Lihat Hilyah Thalibil Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid dengan syarh Syaikh 'Utsaimin, hal: 178).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>6. Tidak memotong perkataan guru sampai beliau menyelesaikannya.</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Imam al-Bukhari berkata: Bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan dia sibuk berbicara, maka selesaikan dulu permbicaraannya. Kemudian beliau membawakan hadits:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: medium;">أَنَّ أَعْرَابِياًّ قَالَ وَالنَّبِيُّ يَخْطُبُ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى الرَّسُوْلُ فِي حَدِيْثِهِ وَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْثَهُ قَالَ: أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ</span>؟</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ada seorang Arab Badui bertanya kapan hari kiamat tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan khutbahnya dan berpaling dari orang itu, tatkala Nabi menyelesaikan khutbahnya, kemudian bertanya: “Dimana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat.” (Al-Fath, jilid 1, hlm. 171)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">7. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">8. Sopan tatkala mengajukan pertanyaan kepada guru, tidak menanyakan sesuatu yang dibuat-buat atau berlebihan atau menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya dengan tujuan supaya gurunya tidak mampu menjawab dan menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya, atau menanyakan sesuatu yang belum terjadi, dimana salafush shalih mencela hal seperti ini apabila pertanyaan itu dibuat-buat. (Tahdzib at-Tahdzib, jilid 8, hlm. 274, as-Siyar, jilid 1, hlm. 398)<br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>ADAB BERTANYA KEPADA AHLUL 'ILMI</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berikut ini nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Shalih Bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh -hafizhahullah- tentang adab-adab bertanya kepada ahli ilmu, yaitu para ulama, ustadz, thalibul ilmi, atau orang-orang yang dipercayai keilmuannya. Penjelasan ini beliau sampaikan secara lisan dalam sebuah ceramahnya. Beliau berkata:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ada beberapa keadaan yang berkaitan dengan masalah bertanya kepada ahli ilmu. Tentu manusia butuh untuk bertanya, namun pertanyaan ini bisa bermacam-macam keadaan. Keadaan yang berkaitan dengan penanya, serta keadaan yang berkaitan dengan orang yang ditanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun bagi penanya, hendaknya ia memperhatikan adab-adab sehingga orang yang ditanya dapat menjawab dengan jawaban yang pas dan benar -Insya Allah-. Oleh karena, wajib bagi penanya untuk memperhatikan beberapa adab-adab dalam bertanya, diantaranya:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Persiapkan pertanyaan dengan baik</b></div><div style="text-align: justify;">Salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, yaitu menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Perlu digaris bawahi bahwa sebagian kaum muslimin ketika mendapatkan masalah atau musykilah (keraguan) lantas ia mendatangi ahli ilmu dan langsung bertanya tanpa mempersiapkan rincian permasalahannya. Atau terkadang, langsung ia menyalakan telepon lalu bertanya tentang hal yang mengganggunya tanpa menjelaskan keadaan yang berhubungan dengan pertanyaan. Ketika ia hendak meminta penjelasan, ia mendatangi orang alim lalu bertanya dengan beberapa rincian saja, lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak tahu tentang hal ini wahai orang alim, nasehatilah saya“. Demikian. Tentu orang alim tadi menjawab: “Saya tidak tahu“.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Maka penanya hendaknya mempersiapkan rincian pertanyaan sebelum bertanya. Karena pertanyaan yang anda tanyakan adalah tentang hukum Allah Jalla Wa ‘Ala, yang jika anda mendapatkan jawabannya anda akan terbebas dari kesusahan. Dan orang alim yang ditanya pun mendapatkan gambaran pertanyaan dengan jelas. Karena jika tidak jelas, bagaimana mungkin ia dapat menjawab hal yang belum jelas?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Memperhatikan waktu ahli ilmu</b></div><div style="text-align: justify;">Dengan demikian, hendaknya yang pertama dilakukan oleh penanya adalah mempersiapkan pertanyaan dengan baik dan bahasa yang sesingkat mungkin. Jangan anda mengira bahwa orang yang biasa ditanya masalah agama, yaitu mufti atau para thalibul ilmi yang dapat menjawab pertanyaan, jangan anda mengira mereka itu hanya ditanya satu atau dua pertanyaan saja. Di zaman ini, dengan telepon, pada ahli ilmu memungkinkan untuk dihubungi baik dari daerah sendiri atau dari luar daerah. Bahkan mereka ditanya puluhan ribu kali dalam setahun, atau 20-30 pertanyaan sehari. Oleh karena itu, salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya, hendaknya penanya menyadari sempitnya waktu sang mufti tersebut, dan sempitnya waktu yang ia miliki untuk melayani pertanyaan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hendaknya ia mempersiapkan pertanyaan dengan bahasa yang jelas dan tidak samar serta bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sang mufti yang terbatas itu, sehingga pertanyaan yang ia sampaikan jadi bermanfaat. Dengan kata lain, jangan anda berpikiran bahwa yang dibalas teleponnya atau dijawab pertanyaannya hanyalah anda satu-satunya. Bahkan hendaknya anda menyadari bahwa yang bertanya kepada sang mufti ada puluhan orang yang bertanya setiap waktu. Sehingga wajib baginya memperhatikan kondisi dan adab, terutama dalam menyingkat pertanyaan. Dan jawaban pun tergantung dari pertanyaan yang disampaikan. Jika pertanyaan jelas, jawaban pun akan jelas. Oleh karena itu, anda lihat bahwa pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan dalil anjurkan untuk bertanya dengan jelas dan dalil bahwa jawaban yang jelas itu dibangun dari pertanyaan yang jelas. Jibril ‘Alaihissalam bertanya kepada Nabi: “Kabarkan kepadaku tentang Islam“, pertanyaan yang jelas dan ringkas. Lalu “Kabarkan kepadaku tentang iman“, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan“, “Apa tanda-tanda kiamat?“, dan semisal itu. Ini semua pertanyaan yang jelas, bahasa ringkas, dan diawali dengan rincian serta pertanyaan yang jelas sebelum bertanya. Inilah adab yang mestinya diperhatikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kebanyakan yang terjadi, ketika jawaban seorang mufti tidak jelas itu disebabkan oleh pertanyaan yang tidak jelas. Andai penanya bertanya dengan mempersiapkan pertanyaan dengan baik lalu baru bertanya, tentu jawaban akan jelas.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tidak bertanya yang sudah diketahui</b></div><div style="text-align: justify;">Adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah, terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang kepada mufti lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat ulama yang berlainan, si penanya berkata: “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“, atau semacamnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat atau untuk mengajari -padahal anda orang yang tidak tahu- atau untuk mengajak diskusi. Karena bukan itu tugas seorang ulama.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan anda pun belum membuka diskusi misalnya dengan berkata: ‘Saya ingin mengajak anda berdiskusi tentang masalah ini‘. Apa yang dimaksud mengajak diskusi? Maksudnya ‘aku akan berdebat denganmu, agar engkau tahu apa pendapat dan dalilku dan aku tahu pendapat dan dalilmu, sampai kita bertemu titik kebenaran‘. Bukan ini yang diharapkan, terlebih lagi hal ini merupakan sikap tidak sopan terhadap ahli ilmu. Karena perbuatan tersebut termasuk melukai hak seorang ulama, kecuali jika anda memaparkan bahwa anda ingin meminta bantuan beliau untuk meneliti sebuah permasalahan. Jika demikian, anda memiliki sebuah penelitian, dari penelitian itu dikeluarkan pertanyaan untuk diminta fatwa dari sang mufti, anda bertanya, mufti menjawab dan menjelaskan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sikap gemar bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya ini terkadang juga terjadi di kalangan para penuntut ilmu di majelis ilmu.Ia mengetahui jawabannya namun tetap bertanya agar orang lain tahu bahwa ia mengajukan pertanyaan yang bagus, atau semisal itu. Mulai dari sekarang, kurangilah bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya, dan bertanyalah pada hal yang belum tahu saja. Demikianlah adabnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: large;">فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ</span></div><div style="text-align: justify;"><i>“Bertanyalah kepada ahli dzikir jika engkau tidak tahu”</i></div><div style="text-align: justify;">Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena anda sudah punya ilmunya, dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang lainnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Cukup bertanya kepada satu orang ahli ilmu yang dipercaya</b></div><div style="text-align: justify;">Adab lain yang mesti diperhatikan adalah jangan menyebutkan pendapat mufti lain kepada mufti yang ditanya. Sebagian orang bertanya lewat telepon sekali, setelah itu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain. Akhirnya ia pun bingung. Karena bingung, akhirnya ia pun memilih jawaban yang paling enak dan ringan. Ini tidak patut. Hendaknya penanya jika memiliki pertanyaan ia datang kepada seorang alim yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Sebagaimana perkataan para ulama:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ينبغي للمستفتي أنْ يسأل من يثق بعلمه ودينه</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Hendaknya penanya itu bertanya kepada orang yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya“</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika anda percaya kepada Fulan maka tanyalah ia, lalu setelah itu jangan tanya lagi kepada yang lain. Karena jika anda bertanya kepada yang lain, kadang akan mendapatkan jawaban berbeda yang membuat anda bingung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terkadang anda boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal ini, apakah jawaban yang membuat anda puas bukanlah yang cocok dengan kondisi anda, atau jawaban yang tidak sulit mengamalkannya, atau karena anda berniat mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan? Tidak, namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban pertama.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Oleh karena ini, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat berakibat:</div><div style="text-align: justify;"><b>1.</b> Membuang-buang waktu orang alim</div><div style="text-align: justify;"><b>2.</b> Dapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata: “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan: “Anda yang salah dari awal. Karena anda bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang anda percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan anda pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada anda adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan anda telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri anda”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Bertanya dengan lugas, tidak berputar-putar</b></div><div style="text-align: justify;">Adab lain yang juga mesti diperhatikan adalah tidak bertanya dengan pertanyaan yang berputar-putar. Misalnya seseorang bertanya: “Ada orang yaitu si Fulan, ia mengalami ini dan itu…”. Padahal penanya ini ingin menanyakan permasalahan yang terjadi padanya dengan memberikan pertanyaan yang kasusnya mirip. Penanya ini mengira, jika pertanyaan ini dijawab, maka jawaban itu berlaku juga untuk dirinya. Padahal pada kenyataannya masalah yang dimiliki si penanya berbeda dengan yang ditanyakan, namun si penanya mengira sama. Orang alim yang ditanya pun tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya dan ia tidak tahu bahwa yang butuh solusi adalah si penanya itu, akhirnya orang alim ini menjawab secara umum saja.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bertanya kepada ahli ilmu bukanlah aib, bahkan itu perbuatan mulia. Karena menunjukkan bahwa si penanya bersemangat dalam kebaikan dan untuk terlepas dari bebannya, sehingga dapat meringankan kesulitan ia kelak ketika menghadap Allah Ta’ala. Ketika anda bertanya, janganlah bertanya dengan berputar-putar. Tanyalah secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ada, janganlah segan. Sebagian shahabiyyah pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang haid, tentang kehamilan bagaimana hukumnya, dll. Dalam pertanyaan bukanlah tempatnya untuk malu-malu. Malu itu memang terpuji, namun jika malu itu dapat menjauhkan anda dari ilmu tentang hukum Allah maka saat itu malu tidak terpuji, sebagaimana terdapat dalam hadits.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika demikian, termasuk adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Jangan mengira bahwa jika anda memutar-mutar pertanyaan, anda akan mendapatkan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan anda. Padahal sebaliknya, ternyata jika permasalahan atau kejadian itu dijelaskan dengan jelas justru akan didapatkan jawaban yang 100% berbeda. Oleh karena itu jangan berputar-putar ketika bertanya kepada ahli ilmu, baik dalam permasalahan fiqih, masalah pribadai atau yang berkaitan dengan kejadian-kejadian. Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita ‘membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat anda belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena anda yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika anda menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, anda belum bebas dari beban</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari hal ini, saya memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi berupa dipertentangkannya fatwa-fatwa ulama, baik dalam masalah fiqih, masalah aktual, masalah sosial, atau yang lain, adalah karena orang yang bertanya menggunakan pertanyaan yang berputar-putar dan menyamarkan sang mufti. Yang dimaksud bukanlah yang ditanyakan. Sikap ini tidaklah layak. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita dengan perintah yang jelas, yaitu bertanya. Sedangkan perbuatan ini termasuk melampaui batas dari yang selayaknya, yaitu bertanya dengan adab yang baik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Bertanya untuk diri sendiri</b></div><div style="text-align: justify;">Adab lain yang semestinya diperhatikan ketika bertanya adalah hendaknya penanya bertanya untuk dirinya dan bukan untuk orang lain. Banyak penanya yang berkata: “Temanku titip pesan, ia bertanya tentang ini dan itu…”. Atau ia berkata: “Jika Fulan -yaitu teman kerjanya- demikian, maka ia akan mengalami demikian dan demikian, ia titip pesan untuk menanyakannya kepada anda”. Keadaannya bisa bermacam-macam. Padahal seorang mufti tentu akan meminta rincian, dan tentu ia akan bertanya tentang rincian itu, misalnya: “Bagaimana kejadian sebenarnya?”, atau “Apakah kejadiannya seperti ini dan itu?”. Jika penanya ini bukanlah orang yang memiliki pertanyaan, ia tentu tidak bisa menjawab pertanyaan tentang rincian tersebut, melainkan hanya tahu sebatas pertanyaan singkat yang diberikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan terkadang, hal yang dapat membuat penanya yang sebenarnya langsung bertanya kepada orang alim adalah adanya keseganan atau rasa malu. Sebagaimana yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, ia lelaki yang sering keluar banyak madzi. Namun ia malu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi adalah mertuanya. Ali pun segan dan malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang hal yang berhubungan dengan perihal suami-istri ini. Maka Ali pun mengutus Miqdad untuk menanyakan kepada Nabi tentang masalah ini. Lalu Nabi menjawab. Kemudian Miqdad Radhiallahu’anhu menukilkan jawaban tersebut kepada Ali Radhiallahu’anhu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika demikian, pada asalnya seseorang hendaknya tidak bertanya kecuali yang khusus untuk dirinya. Karena jawaban pertanyaan bisa berbeda-beda tergantung penanya dan tergantung konteks pertanyaan. Selain itu, orang yang dipesankan pertanyaan tidak selalu pasti bisa menjelaskan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. Dan kebanyakan dari kondisi ini, jawaban dari fatwa bisa didapatkan jika pertanyaan ini tidak ada kesamaran dalam konteks pertanyaan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Jangan terburu-buru minta dijawab dengan segera</b></div><div style="text-align: justify;">Adab lain yang semestinya diperhatikan adalah jika anda bertanya kepada ahli ilmu lewat telepon atau bukan lewat telepon, janganlah meminta untuk dijawab dengan segera secara tertulis atau dijawab dalam rekaman, kecuali jika orang alim tersebut mengizinkan. Kejadian ini sering saya dapati berkali-kali, yaitu sebagian ikhwah mereka merekam jawaban dari ahli ilmu dengan cara yang tidak layak. Hal ini dikarenakan seorang alim hanya menjawab sesuai kadar pertanyaan dari si penanya. Yang bisa jadi, jika orang alim ini sebelumnya diberitahu bahwa jawaban beliau itu direkam dan akan diperdengarkan kepada orang banyak, jawabannya akan berbeda. Dan hal ini termasuk kurang hormat kepada ahli ilmu dan kurang memperhatikan adab terhadap mereka, yaitu merekam jawaban dari ahli ilmu dengan telepon atau tulisan, lalu disebarkan tanpa izin mereka. Karena ahli ilmu memiliki hak untuk memutuskan fatwanya boleh disebar secara penuh kepada orang banyak atau tidak. Dan penanya hendaknya bertanya khusus untuk dirinya. Jika anda memang ingin merekamnya, hendaknya diawal pertanyaan anda mengatakan: “Semoga Allah memberikan kebaikan untuk anda. Saya bermaksud untuk merekam jawaban anda dalam rekaman, dan rekaman akan dimulai dari sekarang”. Jika beliau memang mengizinkan, maka anda telah melakukan adab yang selayaknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Kemudian jangan berlaku kurang hormat serta membuat duduk perkaranya kurang jelas</b>, yaitu seseorang memanfaatkan beberapa kesempatan, merekam jawaban dari ahli ilmu, yang sebenarnya tidak disukai oleh ahli ilmu yang memfatwakannya. Hal ini berkali-kali terjadi, ketika ahli ilmu tersebut dikonfirmasi mengenai rekaman fatwa tadi, ia berkata: “Saya tidak pernah berkata demikian secara rinci, karena dalam masalah ini ada perincian”. Nah coba perhatikan, jawaban di rekaman sudah jelas, namun mengapa ahli ilmu tersebut mengatakan dalam masalah tersebut masih ada perincian? Jawabannya, karena sekarang beliau sudah memiliki gambaran permasalahan sebenarnya, namun saat penanya bertanya lewat telepon beliau mengira pertanyaan ini bukanlah tentang diri si penanya tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kita diperintahkan untuk menghormati ahli ilmu, sebagaimana terdapat dalam banyak atsar dari tabi’in yang menyatakan demikian. Dan termasuk dalam sikap hormat terhadap ahli ilmu adalah tidak bersikap lancang dengan menyebarkan rekaman perkataan mereka, atau menulisnya, kecuali ada penyataan dari mereka boleh untuk melakukannya. Demikian juga yang berupa rekaman syarah (penjelasan) tentang suatu masalah, seharusnya di serahkan dahulu kepada ahli ilmu tersebut, biar beliau yang memutuskan apakah akan disebarkan, akan di-edit, dihapus, atau boleh direkam semuanya. Seharusnya demikian. Karena terkadang, sebuah ilmu itu bermanfaat bagi sebagian kecil orang, namun tidak bermanfaat bagi sebagian besar orang. Karena kebanyakan orang, yaitu masyarakat, berbeda-beda tingkatan pemahamannya. Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda. Oleh karena itu, jika anda perhatikan anda akan menemukan seorang ulama memiliki jawaban berbeda antara menjawab pertanyaan lewat telepon dengan jawaban yang anda dengar dari acara Nuurun ‘Ala Darb. Bisa jadi pada jawaban tersebut memang terdapat tafshil (rincian), dalil (pendalilan lain), ta’lil (sisi alasan lain), atau semacamnya. Sehingga pada acara Nuurun ‘Ala Darb misalnya, beliau akan menjawab dengan lengkap. Sedangkan jawaban beliau terhadap anda lewat telepon cukup sekedar jawaban “ini benar”, atau “ini tidak benar”, atau “boleh”, atau “ini tidak boleh”, atau “yang sunnah adalah begini, (secara ringkas)”, karena waktunya sempit untuk menjawab dengan rinci kepada semua orang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Demikianlah sebagian adab yang berkaitan dengan penanya.</div><div style="text-align: justify;">[Dikutip dari transkrip ceramah beliau yang ada di web http://www.islamport.com/w/akh/Web/2312/5.htm ] </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjepn9hHyZm_ODqI3WTGGMg1cr5-lEc4iRCpuYX1e_vhAHxAxrF5gGvO4IhemgK56rJErKpZsogW86381MZ0zt1cVnvC73uIl-wCmk2tEzVyMY5i7jc-CJOjL2wOEZCv2A-zvzSjM0W6Qk/s104/Border+Ornamen2.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjepn9hHyZm_ODqI3WTGGMg1cr5-lEc4iRCpuYX1e_vhAHxAxrF5gGvO4IhemgK56rJErKpZsogW86381MZ0zt1cVnvC73uIl-wCmk2tEzVyMY5i7jc-CJOjL2wOEZCv2A-zvzSjM0W6Qk/s104/Border+Ornamen2.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sumber : <br />
<i style="color: #0b5394;"><span style="font-size: xx-small;">http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/05/adab-bertanya_22.html<br />
http://kangaswad.wordpress.com/2010/07/22/adab-bertanya-kepada-ahli-ilmu/</span></i></div><br />
<br />
Read more: <a href="http://www.abuayaz.co.cc/2010/11/adab-bertanya.html#ixzz182u7DIVC" style="color: #003399;">http://www.abuayaz.co.cc/2010/11/adab-bertanya.html#ixzz182u7DIVC</a></div></div></div></div>MUHAMMAD TEGUH SUPRIYADIhttp://www.blogger.com/profile/05565428702495683227noreply@blogger.com0